09.00

penerapan model pembelajaran MMP (Missouri Mathematics Project) pada materi himpunan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses belajar mengajar pada intinya tertumpu pada suatu persoalan yaitu bagaimana guru melibatkan siswa agar terjadi proses belajar yang efektif untuk mencapai hasil sesuai dengan tujuan. Hal ini menuntut guru untuk lebih kreatif memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang akan disajikan kepada siswa.
Pada proses pembelajaran matematika selama ini umumnya guru lebih mendominasi proses pembelajaran yaitu guru menyampaikan materi dengan metode ceramah sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat dan mengerjakan soal yang diberikan oleh guru. Pembelajaran seperti ini akan mematikan kreativitas siswa sehingga berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa.
Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru matematika SMP Negeri 15 mataram bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar masih rendah, walaupun ada sebagian kecil siswa yang aktif dalam menanggapi apa yang disampaikan oleh guru. Kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru sehingga siswa kurang memiliki kesempatan untuk mengembangkan sendiri konsep-konsep matematika yang ada. Kesempatan diskusi di kelas pun jarang dilakukan sehingga siswa kurang terbiasa untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini menyebabkan matematika tidak menarik sehingga mengurangi antusias siswa untuk belajar matematika yang berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa.
Hasil observasi dan wawancara dengan guru bidang studi matematika SMP Negeri 15 diperoleh informasi bahwa nilai standar ketuntasan belajar matematika siswa adalah 60. Selain itu juga diperoleh informasi bahwa nilai matematika siswa pada beberapa kelas VII semester I tahun pelajaran 2007/2008 masih berada di bawah nilai standar ketuntasan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1: Daftar nilai MID semester kelas VII semester I tahun pelajaran 2007/2008
No Kelas Nilai rata-rata kelas
1 VII.A 60,43
2 VII.B 61,76
3 VII.C 50,76
4 VII.D 47,61
(Sumber: Daftar nilai guru kelas VII SMPN 15 Mataram)
Berdasarkan data pada tabel 1.1 di atas terlihat bahwa nilai rata-rata kelas VII.D adalah 47,61. Dari observasi awal yang dilakukan di kelas VII.D diketahui bahwa rendahnya prestasi belajar siswa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kurangnya keaktifan siswa dalam menanggapi materi yang disampaikan oleh guru. Siswa malu bertanya pada guru walaupun ada materi yang belum dimengerti.
2. Kemampuan awal siswa yang masih rendah. Sebagian besar siswa kurang menguasai pengetahuan yang merupakan prasyarat untuk mengikuti pelajaran berikutnya.
3. Kemampuan siswa untuk mengingat materi yang telah dipelajari masih kurang.
4. Kemampuan siswa dalam menggunakan rumus untuk menyelesaikan soal masih sebatas kemampuan menerapkan rumus ke dalam penyelesaian soal persis seperti contoh yang telah diberikan oleh guru, sedangkan jika menghadapi aplikasi soal siswa masih mengalami kesulitan.
5. Dalam menyampaikan materi pelajaran guru lebih mendominasi proses pembelajaran yaitu guru aktif menyampaikan materi kemudian memberikan contoh dan latihan sedangkan siswa duduk mendengar, mencatat, menghafal dan bekerja di tempat duduk masing-masing
Dari hasil observasi, juga terlihat adanya potensi siswa berpotensi aktif dalam pembelajaran matematika. Potensi tersebut dapat dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lebih aktif, lebih berpartisipasi serta mampu berinteraksi satu sama lain dalam pembelajaran. Untuk itu diperlukan model pembelajaran yang tepat bagi guru. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran MMP (Missouri Mathematics Project). Model pembelajaran MMP memberikan kesempatan kepada siswa dan guru secara bersama-sama proaktif di dalam proses pembelajaran. Dengan menerapkan model pembelajaran MMP, guru sebagai fasilitator sedangkan siswa aktif dalam menemukan sendiri suatu konsep, sehingga konsep tersebut mudah dipahami dan bertahan lama dalam ingatan siswa dan siswa akan lebih mampu mentransfer pengetahuaannya ke dalam pemecahan masalah. Setelah itu siswa secara kooperatif mengerjakan latihan-latihan, dimana di dalamnya siswa saling membantu dalam menguasai bahan ajar, karena siswa akan lebih percaya diri untuk bertanya atau menyampaikan pendapatnya. Selanjutnya latihan mandiri, dengan latihan mandiri, siswa dapat mengukur sejauh mana pengetahuan atau kepahaman yang mereka miliki.
Salah satu pokok bahasan yang diajarkan dalam pembelajaran matematika di kelas VII SMP Negeri 15 Mataram adalah himpunan. Materi himpunan merupakan salah satu materi yang memiliki konsep yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, sehinga memerlukan perencanaan yang baik yakni ketepatan pengunaan model yang dipilih oleh guru, agar siswa berperan aktif dan dapat menarik minat siswa. Penerapan model pembelajaran MMP menempatkan siswa tidak hanya menjadi objek semata tetapi juga menjadi subyek yang aktif baik dalam diskusi kelompok maupun melalui latihan mandiri. Untuk dapat berdiskusi dengan baik, siswa harus memiliki pengetahuan tentang materi yang akan didiskusikan. Sehubungan dengan itu, materi himpunan merupakan salah satu materi yang memiliki konsep berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga siswa sudah memperoleh gambaran awal tentang materi yang akan dibahas sehingga memungkinkan siswa memiliki pengetahuan tentang materi yang akan didiskusikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan menerapkan model pembelajaran MMP (Missouri Mathematics Project) untuk meningkatkan prestasi dan aktivitas belajar siswa pada pokok bahasan himpunan di kelas VII.D SMP Negeri 15 mataram tahun pelajaran 2007/2008.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah penerapan model pembelajaran MMP dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan himpunan di kelas VII.D SMP Negeri 15 Mataram tahun pelajaran 2007/2008?
2. Apakah penerapan model pembelajaran MMP dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada pokok bahasan himpunan di kelas VII.D SMP Negeri 15 Mataram tahun pelajaran 2007/2008?






C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII.D SMP Negeri 15 Mataram tahun pelajaran 2007/2008 pada pembelajaran pokok bahasan himpunan melalui penerapan model pembelajaran MMP.
2. Meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VII.D SMP Negeri 15 Mataram tahun pelajaran 2007/2008 pada pembelajaran pokok bahasan himpunan melalui penerapan model pembelajaran MMP.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi siswa, penerapan model pembelajaran MMP dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya, melatih siswa untuk mengemukakan pendapat, menambah motivasi belajar, pemahaman materi lebih mendalam, serta meningkatkan prestasi dan aktivitas belajar siswa.
2. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pemilihan model dan metode pembelajaran di sekolah sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak pengelola sebagai bentuk inovasi pembelajaran yang mendukung sistim pembelajaran yang telah ada.

08.25

Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar SiswaMelalui Pendekatan RME (Realistic Mathematic Education)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah mendasar dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah. Beberapa faktor penyebab rendahnya prestasi belajar tersebut antara lain kurangnya kualitas materi pembelajaran, metode pembelajaran, metode pengajaran yang mekanistik yang lebih menekankan pada latihan dan penghafalan rumus, serta buruknya sistem penilaian (Depdiknas, 2004: 32)
Aspek penting dalam pengajaran matematika adalah agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah (Putman dalam Asmin, 2007: 3)
Salah satu pokok bahasan yang diajarkan di Sekolah Menengah kelas XI pada pelajaran matematika adalah peluang. Ditinjau dari karakteristik materi, peluang merupakan materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga dibutuhkan pemahaman siswa terhadap konsep, penalaran, ketelitian kemampuan berfikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Tujuan pembelajaran materi peluang pada kelas XI IPS adalah agar siswa dapat menyusun dan menggunakan aturan perkalian, permutasi, dan kombinasi, dan agar siswa dapat menentukan banyak kemungkinan kejadian dari beberapa situasi (Depdiknas: 2003: 49). Peluang adalah materi dalam pelajaran matematika yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan memahami konsep peluang dengan baik akan melatih siswa untuk lebih memahami kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan konsep peluang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu guru matematika MAN 2 Mataram kelas XI, bahwa pada kelas XI telah dilakukan penjurusan kelas. Ada tiga penjurusan yaitu, XI IPA, XI IPS, dan XI Bahasa. Terdapat beberapa permasalahan akibat dari penjurusan kelas pada kelas XI IPS yakni:
(1) Apabila dibandingkan dengan kelas XI IPA, siswa kelas XI IPS lebih banyak mengalami kesulitan dalam memahami materi matematika.
(2) Siswa pada umumnya mengambil jurusan IPS karena ingin menghindari mata pelajaran matematika yang mereka anggap sulit. Namun, sejak beberapa tahun yang lalu matematika pada jurusan IPS diikutsertakan pada ujian nasional, sehingga mata pelajaran matematika juga diajarkan pada jurusan IPS.
(3) Materi pelajaran matematika pada semester I kelas XI IPS membahas mengenai statistika dan peluang. Hal ini berarti bahwa, prestasi belajar siswa pada konsep peluang akan memberikan pengaruh yang besar pada prestasi belajar siswa secara keseluruhan semester I.
(4) Siswa dalam proses pembelajaran lebih sering bermain-main dan tidak berkonsentasi dalam belajar. Hal ini berpengaruh pada kemampuan siswa untuk menerima pelajaran yang diberikan guru.
Informasi yang diperoleh dari guru matematika kelas XI IPS ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa. Faktor-faktor tersebut antara lain:
(1) Siswa-siswa tersebut berasal sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama yang berbeda-beda, sehingga terdapat siswa yang tidak terlatih untuk mengembangkan pola pikir matematis.
(2) Penyajian materi yang kurang menarik menyebabkan siswa bosan dan jenuh dalam proses pembelajaran, sehingga aktivitas siswa saat belajar rendah. Hal ini berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa.
(3) Pembelajaran matematika di kelas masih bersifat mekanistik, dimana pembelajaran lebih menekankan pada latihan dan penghafalan rumus.
Berdasarkan hasil wawancara, bahwa pada pokok bahasan statistika yang mendahului pokok bahasan peluang, siswa tidak terlalu bermasalah, hanya saja membutuhkan waktu yang lebih lama. Selanjutnya, guru matematika kelas XI IPS menambahkan bahwa lebih sulit menjelaskan pokok bahasan peluang daripada statistika, karena karakteristik pokok bahasan peluang lebih kompleks.
Melihat karakteristik peluang dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu pendekatan yang menjanjikan dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan pembelajaran melalui pendekatan RME (Realistic Mathematic Education). Pada pandangan RME, dalam semua kasus, bahan ajar dimatematisasikan, dipengalamankan secara nyata untuk siswa. Hal ini tidak berarti bahwa RME selalu menggunakan masalah kehidupan yang nyata (Lange, 1987), tetapi juga dapat menggunakan hal-hal yang sudah dialami atau dipahami siswa atau sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar dalam Amin, 2004: 145). Salah satu prinsip yang dikembangkan dalam RME adalah bahwa pembelajaran tidak bermula dari proses formal. Prinsip ini cocok diterapkan pada kelas dimana pada proses pembelajaran siswa lebih banyak bermain-main dan kurang berkonsentrasi.
Pembelajaran dengan pendekatan RME dapat diterapkan pada pokok bahasan peluang karena memiliki cakupan materi yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Melalui pembelajaran dengan pendekatan RME diharapkan dapat membangun minat dan motivasi siswa dalam proses belajar. RME juga diharapkan dapat memudahkan guru untuk dapat menggalakkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Sehingga aktivitas siswa dalam pembelajaran akan lebih meningkat. Dengan demikian, materi yang dipelajari siswa akan lebih mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari guru matematika kelas XI IPS bahwa siswa kelas XI IPS 3 prestasi belajarnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelas XI IPS yang lain, hal ini terlihat dari hasil ujian tengah semester yang telah dilakukan yakni kelas XI IPS 1 nilai rata-ratanya 71, 4, kelas XI IPS 2 nilai rata-ratanya 75, 1, XI IPS 3 rata-ratanya 68, 7. Penyebab hasil belajar siswa kelas XI IPS 3 rendah adalah kurangnya aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa dalam proses pembelajaran lebih banyak bermain-main dan tidak berkonsentrasi sepenuhnya pada kegiatan belajar. Hal ini mendorong peneliti menggunakan kelas XI IPS 3 sebagai objek penelitian.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti merasa perlu mengetahui pengaruh pembelajaran dengan pendekatan RME (Realistic Mathematic Education) terhadap aktivitas dan prestasi belajar siswa. Untuk itu, peneliti melakukan penelitian yang diberi judul “Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI IPS 3 MAN 2 Mataram Tahun Pelajaran 2007/2008 Pada Pokok Bahasan Peluang Melalui Pendekatan RME (Realistic Mathematic Education)”. Untuk selanjutnya, pada tulisan ini Realistic Mathematic Education akan disebut sebagai Pendidikan Matematika Realistik (PMR).

08.22

PENERAPAN PERMAINAN KARTU DOMINO SAINS (FISIKA) INI DI SD

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah. Pendidikan Sains di sekolah dasar bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar juga dapat mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran sains sebagai salah satu pelajaran dasar mengenai lingkungan alam sekitar baik itu benda hidup atau benda mati mempunyai peranan yang penting dalam membentuk pribadi dan intelektual anak (Depdiknas, 2001).
Mulyasa (2005) dalam Rokhmat (2006) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi selalu secara aktif berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pendidikan dan penelitian-penelitian keilmuan sehingga kuantitas informasi keilmuan atau sains semakin lama semakin besar. Di sisi lain, alokasi waktu belajar formal yang disediakan bagi siswa relatif tidak berubah dan ini menjadikan rasio jumlah informasi sains dan alokasi waktu menjadi tidak seimbang yaitu terlalu banyak materi sains yang harus dikuasai siswa dalam waktu yang relatif singkat (Mulyasa, 2005) dalam (Rokhmat, 2006).
Selanjutnya menurut Mulyasa, kebanyakan peserta didik kurang berminat untuk belajar terutama pada mata pelajaran yang mereka anggap sulit atau menyulitkan. Mata pelajaran sains adalah salah satu mata pelajaran yang mereka anggap sulit. Dan untuk menghilangkan asumsi tersebut perlu adanya kreativitas dari seorang guru terutama dalam menyampaikan materi pelajaran tersebut, sehingga para peserta didik menjadi lebih tertarik dan dengan sendirinya ada dorongan internal untuk mempelajarinya.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang sudah digunakan dalam pembelajaran di sekolah yaitu pendekatan yang berbasis PAKEM atau Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Menurut Mulyasa (2005), dalam Rokhmat (2006), menciptakan pembelajaran yang efektif, kreatif, dan menyenangkan, hendaknya tidak membatasi hanya pembelajaran klasikal yang dibatasi pada empat dinding kelas, tetapi proses pembelajaran dilakukan dengan variasi situasi, misalnya di laboratorium, halaman sekolah, kebun, dan sebagainya, bahkan strategi pembelajarannya pun perlu divariasikan untuk menghindari rasa jenuh siswa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masa anak-anak adalah suatu masa yang tidak lepas dari ”bermain”. Suatu model pembelajaran yang ”serius”, tidak mudah untuk diterapkan pada masa kanak-kanak ini. Dalam satu hari, porsi waktu bagi anak-anak pada tahap ini lebih banyak digunakan untuk bermain. Ketika anak-anak berada di sekolah, mereka selalu mencari celah waktu untuk bermain karena hal ini sudah menjadi karakteristiknya (Rokhmat, 2006). Dan pada masa ini pula anak-anak yang berusia 7-11 tahun dikenal sebagai masa operasional konkret yang artinya anak-anak yang berusia 7-11 tahun baru dapat berpikir secara sistematis pada benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret (Syah, 1995: 72).
Berdasarkan pada rasionalisasi di atas, di sini peneliti melihat adanya potensi atau peluang dikembangkannya teknik permainan yang sifatnya mengarah pada keilmuan dan juga yang memenuhi syarat PAKEM yang akan digunakan sebagai media pembelajaran yaitu kartu domino sains (fisika) yang akan diterapkan di sekolah dasar khususnya kelas rendah.
Pemilihan sekolah dasar didasarkan atas pertimbangan bahwa secara psikologis, anak-anak sekolah dasar masih berada pada kondisi ”suka bermain”, sehingga pembelajaran yang divariasikan dengan permainan akan lebih disukai. Oleh karenanya pemilihan media pembelajaran yang berbasis permainan ini dirasa memiliki peluang dalam rangka upaya meningkatkan motivasi siswa di dalam belajar, karena di sini mereka ketika bermain pun dapat sambil belajar. Selain itu dengan teknik ini diharapkan waktu siswa dapat terpakai secara maksimal untuk belajar mengingat adanya ketidakseimbangan antara perkembangan sains dengan alokasi waktu belajar formal di sekolah seperti yang telah diutarakan di atas.

08.13

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) PADA MATERI GETERAN DAN GELOMBANG

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses belajar mengajar pada intinya tertumpu pada suatu persoalan yaitu bagaimana guru melibatkan siswa agar terjadi proses belajar yang efektif untuk mencapai hasil sesuai dengan tujuan. Hal ini menuntut guru untuk lebih kreatif memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang akan disajikan kepada siswa.
Pada proses pembelajaran fisika selama ini umumnya guru lebih mendominasi proses pembelajaran yaitu guru menyampaikan materi dengan metode ceramah sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat dan mengerjakan soal yang diberikan oleh guru. Pembelajaran seperti ini akan mematikan kreativitas siswa sehingga berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa.
Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru fisika MTs Assullmy Langko bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar masih rendah, walaupun ada sebagian kecil siswa yang aktif dalam menanggapi apa yang disampaikan oleh guru. Kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru sehingga siswa kurang memiliki kesempatan untuk mengembangkan sendiri konsep-konsep fisika yang ada. Kesempatan diskusi di kelas pun jarang dilakukan sehingga siswa kurang terbiasa untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini menyebabkan pembelajaran fisika tidak menarik sehingga mengurangi antusias siswa untuk belajar fisika yang berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa.
Dari observasi awal yang dilakukan di kelas VIII.A diketahui bahwa rendahnya prestasi belajar siswa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) kurangnya keaktifan siswa dalam menanggapi materi yang disampaikan oleh guru. Siswa malu bertanya pada guru walaupun ada materi yang belum dimengerti, (2) interaksi antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa sangat kurang, (3) kemampuan siswa untuk mengingat materi yang telah dipelajari masih kurang, (4) kemampuan siswa dalam menggunakan rumus untuk menyelesaikan soal masih sebatas kemampuan menerapkan rumus ke dalam penyelesaian soal persis seperti contoh yang telah diberikan oleh guru, sedangkan jika menghadapi aplikasi soal siswa masih mengalami kesulitan, dan (5) dalam menyampaikan materi pelajaran guru lebih mendominasi proses pembelajaran yaitu guru aktif menyampaikan materi kemudian memberikan contoh dan latihan sedangkan siswa duduk mendengar, mencatat, menghafal dan bekerja di tempat duduk masing-masing.
Dari hasil observasi, juga terlihat adanya potensi siswa berpotensi aktif dalam pembelajaran fisika. Potensi tersebut dapat dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lebih aktif, lebih berpartisipasi serta mampu berinteraksi satu sama lain dalam pembelajaran. Untuk itu diperlukan model pembelajaran yang tepat bagi guru. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif.
Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS), guru sebagai fasilitator sedangkan siswa aktif dalam menemukan sendiri suatu konsep, sehingga konsep tersebut mudah dipahami dan bertahan lama dalam ingatan siswa dan siswa akan lebih mampu mentransfer pengetahuaannya ke dalam pemecahan masalah. Setelah itu siswa secara kooperatif berdiskusi tentang konsep-konsep yang mereka dapatkan, dimana di dalamnya siswa saling membantu dalam menguasai bahan ajar, karena siswa akan lebih percaya diri untuk bertanya atau menyampaikan pendapatnya.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam pembelajaran fisika, peneliti bekerja sama dengan guru fisika kelas VIII.A MTs Assullamy Langko mencoba menerapkan model model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) pada materi getaran dan gelombang untuk meningkatan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas VIII.A MTs Assullamy Langko Tahun Pelajaran 2009/2010.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas VIII.A pada materi pokok getaran dan gelombang di MTs Assullamy Langko Lingsar tahun pelajaran 2009/2010?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi dan aktivitas belajar siswa kelas VIIIA MTs Assullamy Langko pada materi pokok getaran dan gelombang tahun pelajaran 2009/2010.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan bisa menambah informasi, wawasan, pengetahuan dan pengalaman tentang peningkatan prestasi belajar fisika melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair share (TPS) .
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi siswa, untuk melatih kemampuan belajar mandiri siswa, merangang kemampuan berpikir siswa dalam pemecahan masalah serta untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa.
2. Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif model pembelajaran dalam upaya meningkatkan prestasi belajar dan aktivitas siswa pada pelajaran fisika khususnya pada materi pokok getaran dan gelombang.
3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan untuk perbaikan pembelajaran dan peningkatan mutu proses pembelajaran.
4. Bagi peneliti sebagai dasar dan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
(lihat lebih lengkap)

09.51

BATULANTEH

Berhembuskah Angin Perubahan Ke Batulanteh; Telaah atas Kondisi Pra dan Pasca PILKADES 2007

“Masyarakat Pedalaman bukanlah komunitas yang sama sekali buta dalam hal politik kekuasaan, meski itu hanya bermain di ranah desa. Kalau di telaah lebih jauh, frekuensinya lebih dahsyat bahkan hampir-hampir menyaingi suhu politik Pilkada atau mungkin Pilgub. Strategi, model, dan bentuk permainan yang dilakukan pun tidak juga kalah dengan permainan politik yang dilakonkan oleh masyarakat kota atau yang identik dengan itu. Hanya saja sangat disayangkan, model perebutan pengaruh dan kekuasaan ala masyarakat pedalaman sebagai akibat dari hilangnya tradisi local “besiru, musyakarah” telah ikut mengikis secara perlahan-lahan kearifan lokal, tradisi luhur dan meski ini sangatlah tentatif, tetapi setidaknya gara-gara “politik dukung mendukung antar calon Kades yang bertarung” hampir-hampir saja mereka renggang, tidak saling menyapa dan selalu saling mencurigai, mengintip dan tentu saja saling memojokkan. Ironis memang, tetapi itulah style politik ala komunitas pedalaman”. Pesta demokrasi desa sudah mulai digelar di seluruh Kabupaten Sumbawa. Boleh jadi Pilkades yang merupakan saat yang paling tepat untuk memperlihatkan kebolehan bermain politik, rakyat menaruh harapan mereka akan lahir pemimpin-pemimpin yang amanah di desa serta momentum Pilkades adalah wadah untuk mencerminkan reprentasi naluri politik bagi siapapun yang ingin menjadi top manajemen di tingkat desa atau menjadi “Kepala Desa”. Tetapi mungkinkah angin perubahan itu berhembus menyelinap, menelusuri perlahan-lahan diantara dedaunan yang rindang dan akan hadirkah angin semilir itu bertiup menembus tirai-tirai penghalang kemajuan itu? Semua itu diharapkan akan terjawab ketika suksesi kepemimpinan di tingkat desa itu telah berlangsung secara luber jurdil dan penuh dengan nuansa kearifan local yang ada selama ini. Fatsoen Politik Yang Hilang Budaya Politik Dekonstruktif Pembicaraan ini secara spesifik akan meneropong tentang dinamika politik yang selalu menyelimuti salah satu komunitas masyarakat di Kabupaten Sumbawa yaitu Kecamatan Batulanteh. Kecamatan Batulanteh yang terdiri dari enam desa dan masih tergolong terbelakang di Kabupaten Sumbawa, terutama momentum-momentum politik yang sangat penting bagi mereka. Momentum Pilkades adalah yang teranyar dalam perspektif mereka, setidaknya bila dibandingkan dengan Pilkada, Pilpres atau Pemilu dalam skopa yang lebih luas. Sebenarnya munculnya budaya politik yang tidak lazim untuk dilakonkan karena “mungkin dianggap bahwa komunitas pedalaman adalah buta dengan realitas politik terutama politik kekuasaan”, bukanlah hal yang baru dalam dinamika masyarakat di dalam Pegunungan Batulanteh ini. Faktor sosio-geografis bukan menjadi jaminan bahwa rakyat tidak faham politik, tidak faham kekuasaan, malahan saking fahamnya “telah membawa kecelakaan bagi mereka sendiri” munculnya friksi-friksi internal “sangat memalukan, karena internal kelompok sendiri”. Kalau dulu mungkin masih terlihat ikatan kekerabatan yang begitu kuat tercermin di setiap denyut nadi anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Kemudian renggang ikatan sosial dalam satu desa tertentu dapat saja disebabkan oleh pengaruh faktor politik kekuasaan di ranah desa. Lahirnya budaya politik “balas dendam” semacam itu telah menanggalkan berbagai agenda masyarakat “Desa” sebagai agenda Pemerintah yang justru mendesak. Alhasil, tidak ada sesuatu subyek yang lebih parah dan sakit dalam multi segmen kehidupan, selain Batulanteh. Terkungkung dalam kemunduran, terjerat oleh belenggu apatisme dan konsolidasi perubahan yang tidak pernah muncul. Lebih masygul lagi, meski era reform sudah berjalan selama 9 tahun, tetapi budaya-budaya apatisme-tradisional tetap saja tidak berubah. Melihat dinamika dan fenomena politik “saling menjatuhkan” antar pendukung menjelang Pilkades ini ternyata menjadi menarik dan menggelitik untuk dicermati. Pertama, setidaknya ini tidak lebih fenomena politik yang boleh terbilang baru dan tersembur kepermukaan setelah mereka terkungkung selama lebih kurang 32 tahun dibawah rezim otoriter. Sehingga mereka seringkali mengartikulasikan makna perebutan kekuasaan menjadi sedemikian beraroma. Bahkan sering terdengar pembicaraan-pembicaraan antar para pendukung calon kades tentang arah kebijakan, strategi politik yang akan digunakan sampai dengan posisi dan reposisi untuk mengisi jabatan-jabatan strategis diranah desa ketika mereka resmi terpilih kelak. Tetapi hampir semua pembicaraan yang berkaitan dengan itu tidak terlihat arah yang menyentuh bagaimana program pembangunan yang akan dilakukan terhadap desanya ketika mereka terpilih nantinya. Artinya, keinginan untuk maju menjadi “kades” tidak semata-mata dimotivasi oleh adanya keinginan untuk bagaimana membawa masyarakat akan lebih maju dari keadaannya sekarang, bagaimana mengaktifkan kembali identitas kearifan local yang ada dan telah menjadi ikon masyarakat di sini. Setidaknya fenomena ini telah berlangsung di beberapa desa di Batulanteh yang ada terutama menjelang Pilkades ini. Ironis memang, sebagian anggota masyarakat telah keliru memaknai makna politik menjadi begitu kabur dan jelek. Bahkan ada yang mengatakan kalau bulan ini (baca: April) ini sebagai bulan politik dan sebagai bulan saling menghujat. Ini konsekeunsi dari tidak adanya pendidikan politik yang baik, sehingga pemaknaan seolah-olah politik dianggap sebagai sesuatu yang menyesatkan, saling memfitnah, saling adu kekuatan uang untuk memenangkan suatu pertarungan politik. Alhasil dalam perspektif mereka, bahwa seorang calon Kepala Desa tidak mungkin akan mampu memenangkan pertarungan politik tanpa ada kejelian membangun opini masyarakat (terlepas dari baik atau tidak), tanpa ada uang yang cukup untuk kampanye, tanpa ada tim sukses yang mampu menarik simpati para anggota masyarakat baik dengan cara yang paling baik sampai dengan cara yang terjelek “saling memojokkan, menjelekkan dan bahkan memfitnah”. Konsekuensi logis dari permainan politik seperti ini ketika mereka telah berhasil adalah bahwa budaya politik saling mengebiri, balas dendam dan munculnya friksi baru dalam masyarakat menjadi tidak bisa di tawar-tawar lagi. Padahal dalam suatu desa, hampir tidak ditemukan adanya “rentang genealogis”, karena mereka telah bersama, berbaur dalam sebuah ikatan homogenitas dan struktur sosial homogen yang cukup lama. Sehingga sangat di sayangkan apabila kondisi-kondisi seperti ini tetap dipertahankan. Kepalah desa sebagai pembawa perubahan di dalam masyarakat paling bawah menjadi suatu tantanan khidupan bernegara yang sekurangnya kondisi yang demikian harus dilaksanakan mnjadi tanggung jawab moral kepada masyarakat karna selama ini kepala desa haus dengan jabatan dan papularitas sekaligus tempat menjilat rakyat yang sudah terpuruk dari segala Aspek kehidupan kita mengetahui secara nyata dengan kepala mata sendiri yang terjadi dalam polmik kehidupan yang sesungguhnya. seperti masyarakat yang berpendidikan yang tidak mudah terpengaruh dengan bujuk rayuan seorang penguasa saat ini yang ada di level yang paling bawah. Dalam mencari pemimpin yang akur terhadap segala persoalan yang menyangkut kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

09.48

PERJUANGAN RASULULLAH

REFLEKSI HISTORIS PERJUANGAN RASULULLAH


“Sungguh tak terperihkan bagai disayat pisau secara perlahan-lahan, hati Ilham yang tengah berjihad dalam ilmu yang melihat duka, air mata, rintihan dan jeritan hati yang tak terkira dari mata dan mulut hamba-hamba Allah, saudara-saudara se-addin di Libanon, Palestina, Irak, Afganistan, Aljazair dan di negeriku sendiri “katanya”. Kehadiran sang kekasih dambaan hati “Maryam” yang dengan penuh kesabaran menanti bahtera cinta berlabuh lewat penantian penuh asa, meski rasa was-wasnya tak tertahankan, tetapi iman telah mengalahkan seteru dan telah mengokohkan rasa cintanya pada Allah dan Islam, melebihi cintanya pada sang kekasih dambaan hati. Syahdan telah terdengar pembicaraan serius antara dua sejoli di kamp pengungsi Qana’a. “Mar”? sambil Ilham mengatur dan menyiapkan kotak-kotak yang berisi makanan, buah kismis, dan pakaian yang akan segera dibagikan ke Tepi Barat dan juga distrik lain sekitar Qana’a yang sedang berduka. “ apakah cinta yang telah bersemi selama ini kan tumbuh dengan subur agar dapat kita arungi bahtera cinta lewat deru-deru ombak disetiap saat singgah di hatiku, sementara setiap saat pula malaikatul maut dengan setia menghampiriku di medan jihad ini”. Dengan penuh ketegaran Maryam menjawab “mengapa tidak, kalau kecintaanmu terhadap Allah dan Islam senantiasa mewarnai cintamu padaku dan aku telah merelakan dikau dalam jihad, pergilah! Semoga Allah bersama perjuanganmu” (@i Bru, Ikhtiar, 31 Maret 2007)

Illustrasi singkat kemenangan pasukan jihad di medan perang Badar Kubro sebagai perang pertama dalam sejarah Islam. Setidaknya fakta sejarah ini telah ikut mengusik fikiran tenang kita, apakah logika exacta juga akan berlaku ‘bahwa tidak mungkin ada bom nuklir tanpa ada uranium atau plutonium sebagai materi pembuat setelah mengalami proses pengayaan tingkat tinggi (yang diperkaya)? Sekilas menjadi tampak bahwa kerja berat jelas membutuhkan energi yang luar biasa. Tetapi apakah logika tersebut juga akan berlaku pada keadaan yang didalamnya Allah lebih banyak melakukan intervensi misalnya, “apakah materi tanpa substansi juga mampu memberikan energi”. Secara ilmiah tentu akan sangat sulit menerima kehadiran kekuatan transenden dalam exprimen-exprimen mereka, akan tetapi sekali lagi intervensi sang khalik akan menepis sebagian asumsi-asumsi tersebut.
Ataupun illustrasi kehadiran karakter yang dilakonkan sosok Ilham di atas, terasa sungguh amat jarang bisa kita temui ditengah geliat budaya glamour yang telah melanda umat. Pamor glamouritas sedikit demi sedikit menggerogoti nadi-nadi sensitive keimanan kita yang selalu dikelilingi oleh kenikmatan, kesenangan dunia yang tiada tara. Kesenangan yang selalu dibungkus oleh selubung syahwat yang munafik dan hegemonik, setidaknya telah meruntuhkan harapan banyak generasi yang dipundaknya terpikul beban yang amat berat. Tetapi dengan kenikmatan yang telah Allah turunkan, setidaknya Addinul Islam masih menjadi tirai pengahalang bagi burung-burung hantu yang mensenandungkan nyanyian malapetaka bagi umat untuk tetap punya batas dan tidak bisa bersenandung dengan semena-mena dan sekendaknya syahwatnya.
Tidak terasa kita akan masih dalam suasana memperingati maulid nabi besar Muhammad SAW, seorang rasul, seorang pemimpin Agama dan Negara, sang Reformer terbesar hingga dewasa ini yang telah melahirkan sebuah peradaban yang agung yaitu “Islam”, kemudian hari kemerdekaan (Proklamasi 17 Agustus 2007) yang ke-62 dan sebentar lagi kita akan memasuki Bulan Suci Ramadhan 1429 H. Sebagai umat Islam, momentum maulid, Proklamasi maupun Ramadhan ini hendaknya kita mampu menjadi wahana refleksi tentang bagaimana Nabi Saw berjuang menegakkan panji-panji Islam, memberantas sistem yang bobrok dan rusak, bagaimana beliau menjadikan generasi muda untuk selalu berada digarda terdepan untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang maju, demokratis dan berperadaban, lewat sentuhan-sentuhan lembut dan menukik kalbu “dakwah Islamiyah” dan bahkan dengan kekuatan fisik pun beliau telah berjuang demi kemajuan dakwah Islam. Kemudian dengan momentum Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 hendaknya mampu kita jadikan sebagai momentum bagaimana para pejuang dan para pemimpin bangsa berjuang sampai dengan titik darah penghabisan untuk hanya ingin merebut dan memperjuangkan kata “Merdeka”, atau bagaimana kemudian dengan bulan suci Ramadhan 1429 H ini, mampu kita jaidkan sebagai wahana refleksi diri bagimana umat Islam berjuang melawan kafir quraisy dan menegakkan panji-panji Islam.
Kekuatan iman telah mampu ditunjukkan oleh pasukan kaum muslimin pada waktu perang badar kubro. Menurut sejarah, inilah perang yang pertama dalam sejarah Islam dan dilakukan dalam situasi yang penuh dengan ujian yang maha berat yaitu di bulan suci Ramadhan. Sebuah bentuk pertarungan yang sungguh sangat berat. Di satu sisi ada kekuatan Islam yang diamunisi oleh iman dan cinta, sementara di sisi lain ada kekuatan yang lain yang dimotori oelh syahwat , kekuasaan dan kezaliman. Secara kuantitas, kaum kafir pantas menang, tetapi ini bukanlah ukuran yang di pakai oleh Rasulullah Saw, bukan itu yang ditakutii dan diperhitungkan dalam memenangkan jihad ini. Tetapi yang ditakutkan Rasulullah adalah ketika ada diantara kaum muslimin yang lemah imannya dan tidak bisa mempertahankan rasa cinta mereka terhadap Allah dan Addinul Islam. Dan kemudian akan menurunkan semangat juang mereka lalu akhirya akan menderita kekalahan.
Hampir saja iman goyah, rasa takut muncul, belum lagi lapar dan dahaga yang mendera ketika kaum muslimin yang berjumlah lebih kurang 300 orang mendengar gemuruh pasukan yang bersenjatakan lengkap (kafir quraisy) yang jumlahnya 3000 orang. Sungguh suatu kekuatan yang tidak seimbang. Tetapi Rasulullah Saw dengan penuh kesabaran dan keyakinan senantiasa memberi spirit “iman” kepada pasukannya. Bahwa persoalan kuantitas bukanlah syarat bagi suatu kemenangan, bukanlah panas terik dan hawa menyengat padang pasir menjadi tirai penghalang menuju kepada keridhaan Allah dan yang membuat fisik-fisik mereka menjadi lemah. Cintanya pada Allah dan Islam telah menyemburkan aura iman meski ditengah kilatan pedang musuh, dan…..iman telah membawa kemenangan atas panji-panji Islam di medan Badar Takluk.
Rupanya ada semburan energi lain yag ikut menambah kekuatan fisik mereka dalam mengalahkan musuh Allah, ganasnya padang pasir bukanlah menjadikan landasan menyurutkan niat mereka menuju tegaknya panji-panji dakwah Islam dan bukan karena alasan kuantitas yang tidak seimbang menjadii ukuran akan kekalahan mereka. Tetapi ukuran kualitas iman dan rasa cinta yang menjadi penentunya. Semburan energi cinta dan iman telah mengalir deras yang kemudian ikut dibakar oleh api jihad lewat panasnya matahari padang pasir. kemenangan bagi iman dan cinta mereka adalah yang utama dan kemenangan terhadap musuh adalah yang pertama. Dan wajar kalau telah tersembur pancaran kekuatan Islam sebagai rahmatal lil alamin lewat intervensi sang kholiq (Allah Swt), yang pada akhirnya membawa kemenangan “Badar takluk”.
Konsekuensi refleksi atas tinta emas sejarah islam masa lalu seakan terus mengalir lewat nadi-nadi generasi kemudian yang berusaha terus menjadikan momentum hari-hari besar Islam ini sebagai momentum yang tepat menggalang kembali talii ukhwah yang putus, ikatan ukhwah yang renggang, menyeruhkan ‘adalah, tasamuh antara sesama umat manusia. Sebagai bentuk manifestasi itu adalah munculnya serangkaian aktivitas ibadah serta berbagai aktifitas-aktfitas sosial lainnya yang dilakukan ummat Islam di seluruh dunia. Bahkan sampai hari ini masih banyak saudara-saudara kita yang tetap berada dalam dua jihad sekaligus baik itu terhadap hawa nafsu maupun jihad syuhada (perang melawan kaum kuffar yahudi dan nasrani) dalam mempertahankan tanah air maupun keyakinan mereka. Konsep “hubbul al wathan min al iman” haruslah menjadi spirit perjuangan serta keyakinan mereka akan intervensi Allah disetiap derap langkah mereka dalam jihad selalu akan menjadi amunisi yang tidak akan pernah habis.


Mensyukuri Nikmat Allah

Bagi umat Islam Indonesia sepatutnya kita lebih banyak bersyukur kepada Allah, meskipun begitu banyak badai ujian dan cobaan yang datang silih berganti tiba dan datang menyapa, tetapi kita masih diberi nikmat ketenangan dan kedamaian dalam menjalankan berbagai aktivitas ibadah. Bila kita bandingkan dengan keadaan yang kini menimpa saudara-saudara kita se-addin yang rela menjalankan berbagai aktivitas di tengah peperangan, ancaman-ancaman aggressor yang despotis (baca: AS terhadap Iran dan negara-negara Arab yang lainnya tak terkecuali negara berkembang ). Mereka yang berada nun jauh di sana dengan penuh harap menginginkan suasana seperti ini. Umat Islam Palestina, Irak, Lebanon dan Afganistan, masih terus berjaga-jaga dan siap siaga dari ancaman peluru-peluru kendali dan roket-roket kaum despotis, korup dan zalim yang setiap saat bisa saja menghilangkan nyawa mereka. Darah-darah syuhada pun seakan mengalir sepanjang waktu karena mempertahankan ad-dinnya, tanah air serta kehormatannya. Sungguh menyedihkan memang kondisi yang telah kita alami saat-saat ini. Rupanya keserakahan, kesombongan, keangkuhan dan rasa menipisnya iman dalam hati telah membawa petaka bagi sesama umat manusia, perbedaan ideologi, suku, agama, ras dan prinsip telah menceburkan manusia dalam new dark age.
Keinginan untuk menikmati hidup damai seakan tak lagi difikirkan yang terpenting kekuasaan, pengaruh dan uang, karena dorongan syahwat yang begitu menggelora dalam diri mereka. Ironis memang, melihat fakta-fakta yang ada, jangankan antar berbeda keyakinan, sesama muslim pun kita seringkali dihadapkan pada berbagai bentuk friksi-friksi baik internal maupun eksternal. Tak heran kalau tali ikatan ukhwuah menjadi renggang, persatuan menjadi lemah, dakwah semakin susah ditemukan spiritnya. Padahal Allah Swt, secara tegas telah menyatakan bahwa betapa pentingnya menjalin dan menjaga persatuan dan kesatuan serta persaudaraan yang kokoh, kekuatan diorganisir dan dihimpun kembali untuk menuju kepada kemenangan dakwah Islam.
Sahabat Rasulullah Saw, Sayyidina Ali KA pernah berfatwa mengenai urgensi persatuan umat dengan kata-kata “Kebaikan yang terorganisir akan senantiasa kalah dengan kejahatan yang terorganisir” senafas dengan berbagai problematika yang kini dihadapkan pada umat Islam, mengisyaratkan bahwa peran serta generasi muda, generasi dakwah menjadi suatu keniscayaan. Karena di jiwa-jiwa mudalah tersembur kekuatan fisik, mental dan Insya Allah (spiritual) yang senantiasa akan memandu estafet perjuangan di masa-masa mendatang.
Apapun yang dikatakan tentang pemuda, maka sesungguhnya dipundak merekalah terpikul beban, terdapat solusi-solusi bagi nasib bangsa, masyarakat dan umat. Islam memposisikan pemuda ditempat yang sangat strategis yaitu penentu nasib bangsa lewat akhlakul kariemah yang dimilikinya. Ibnu Rusyd, intelektual Islam yang sangat fenomenal pada masanya pernah berkata, bahwa ‘nasib suatu bangsa terletak ditangan generasi muda, apabila akhlak generasi muda rusak (hancur), maka hancurlah bangsa itu dan apabila akhlak generasi muda baik maka baiklah bangsa tersebut”.
Ukhwuah berfungsi mengokohkan kepingan-kepingan kekuatan yang terserak, tali hubungan haruslah sinkron antara habluminallah dengan hablumminannaas, karena penganaktirian terhadap dua konsep tersebut, maka sesungguhnya azab dan bencana sudah ada didepan mata. Telah begitu banyak fakta, bukanlah janji yang dibikin manusia yang kapan saja bisa diingkari. Ini adalah janji Allah Swt sebagaimana diterangkan Allah Swt dalam salah satu ayat Al-Qur’an “Duribat alaihimutsillatu ainama tsuqifu illa bihablimminallah wa hablumminannaas” yang artinya :” akan ditimpakan azab dimanapun mereka berada, kecuali apabila mereka berpegang pada tali agama Allah dan tali hubungan sesama manusianya” .
Di sinilah generasi muda memainkan peran strategis dalam melepaskan diri dari belenggu keterisolasian, kejumudan dan rantai hegemonik dan “free market of ideas” benar-benar akan terjadi dalam ruang publik. Sehingga peran strategis kaum muda Islam akan semakin diperhitungkan ketika mereka yang telah mampu dan terus melawan dan menggugat segala hal yang kontradiktif dengan spirit Islam baik dalam konteks politik, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan sebagai penyangga peradaban. Karena tidak ada sesuatupun subyek yang luput dari pengamatan Islam, sepanjang itu berhubungan dengan nasib umat secara universal.

09.46

GERAKAN MAHASISWA

Gerakan Mahasiswa di Era Neoliberal
Oleh : Amrullah


“ Bukanlah pengecut orang yang tiarap menghindarkan peluru mendesing; namun bodohlah orang yang menantang peluru hanya untuk jatuh dan tidak kuasa untuk bangkit kembali” (Jose Rizal, Sastrawan Philipina dalam Jangan Sentuh Aku)

Mahasiswa atau tepatnya Gerakan Mahasiswa telah menjadi ikon bagi perubahan social di berbagai belahan dunia, spesifiknya Indonesia. Tetapi benarkah bahwa mahasiswa dalam kapasitasnya sebagai agent of change dan agent of social control hari ini telah gagal mentranspormasikan cita-cita masyarakat ideal? sebagaimana yang diinginkan oleh tumpukan teori-teori filsafat, social ideal yang berserakan di rak-rak hikmat modern yang telah dilahapnya sendiri untuk kemudian ditranspormasikan dalam konteks yang lebih riel dilapangan. Sehingga mahasiswa tidak hanya diinginkan sebatas “agent” dalam konteks formalistis belaka, melainkan mahasiswa harus mampu menjadi “the subject matter” bagi masyarakat, sekecil apapun itu.
Perlawanan melawan tiranisme yang secara ideologis, struktur dan kultur kuat harus bisa diimbangi dengan kekuatan serupa. Mahasiswa sebagai “the subject matter” harus mampu melawan dengan kekuatan yang seimbang dalam mendorong suatu tatanan yang lebih baik dan terarah dan mahasiswa harus mampu mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi negara yang otoritarian-birokratik. Tetapi dalam aras Indonesia pasca orde baru sebagai rezim yang otoritarian-birokratik, tentu keadaan sudah jauh berubah, sehingga pola dan arah gerak mahasiswa pun perlu ditinjau ulang. Dengan demikian, satu pertanyaan yang muncul, perlukah paradigma lama GM itu dipertahankan ataukah kita harus lepas menuju sesuatu yang baru dalam suasana yang baru pula. Sikon negara-bangsa ini telah berubah dan kita tidak lagi harus vis-à-vis negara secara frontal, tetapi harus berjalan seirama dalam bingkai dependensi-independensi-interdependensi. Tetapi di sana ada konspirasi global yang semakin mengancam tatanan nilai luhur nation-state, dan kita seakan terpaksa untuk hanyut dalam gelombang yang tidak tentu arah apakah kita akan maju ataukah kemudian kita semakin mundur. Sebuah pertanyaan yang memang membutuhkan jawaban yang belum pasti. Dengan demikian, akan terjadi simbiosis-mutualis antara negara dengan masyarakat dalam mendorong suatu perubahan yang menyeluruh dalam segala aspek kehidupan.
Era neo-liberal ditandai dengan semakin lengkap dan kuatnya struktur ekonomi-politik negara-negara pusat “core” dan negara-negara pinggiran (pheriphery) maupun semi pinggiran (semi pheriphery) akan semakin sulit mengejar ketertinggalan itu. Negara pusat seperti negara-negara G-8 akan terus memainkan peranan penting dalam mempengaruhi regulasi-regulasi internasional. Pada kenyataannya globalisasi adalah rekayasa ide negara-negara tersebut yang digunakan sebagai penopang dalam meloloskan berbagai agenda mereka. Teknologi informasi adalah senjata ampuh dalam mempermainkan sistem ekonomi terutama disektor keuangan dan industri. Bayangkan saja para pemegang saham/modal raksasa bisa dengan seenaknya memindahkan modalnya dari suatu negara ke negara lain dan tanpa melalui prosedur-prosedur yang rumit hanya dengan memencet mouse computer. Hal ini tentu menjadi momok mengerikan bagi negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi model transakasi ekonomi valas semacam itu.
Belum lagi dalam hal sistem moneter dan pengetahuan, di mana negara-negara kapitalis yang menguasai, menjadikan posisi kita makin serba dilematis, bagai simalakama. Kalau kita mau jujur, saat ini Indonesia terkunci dalam gerak kenyataan global. Barangkali melihat gerak global hanya akan membuang energi karena tidaklah bersentuhan langsung dengan kehidupan pribadi individu-individu dalam praktek kesehariannya. Karena tidak terhimpit dengan kenyataaan local yang justru saat ini kita hadapi. Padahal ini penting didiskursuskan mengingat Indonesia dan juga Sumbawa kita seakan semakin terhimpit dan didesak untuk meniscayakan agar apapun regulasi internasional harus diwujudkan, meskipun itu bukan kehendak negara, bukan pula kehendak masyarakat ataupun mahasiswa. Tetapi kehadiran puluhan TNC’s dan MNC’s di Indonesia telah merubah struktur dan kultur dari aras nasional hingga daerah pedesaan sekalipun. Mulai dari cara makan kita, berpakaian kita,life style, tradisi hingga ranah politik, ekonomi dan birokrasi.
Kapitalis-neolib telah mampu merombak genuisitas struktur dan kultur dalam masyarakat sedikit demi sedikit untuk menjadi “seperti mereka” yang identik dengan individualis, materialis dan konsumtif. Kekuatan raksasa disektor financial yang ditopang kemampuan politik mereka sehingga berbagai bentuk regulasi internasional pun dibuat bukan semata-mata untuk mewujudkan agenda penyelamatan dunia yang berkeadilan dan demokratis, malah sebaliknya.
Kemudian yang terpenting juga disorot adalah menyangkut aspek pengetahuan, kita telah terjebak dalam iklim dan pengetahuan yang lebih bernuansa dan beraroma liberalis, sehingga aroma inipun juga merasuk sampai pada ranah aktualisasinya dilapangan, jangan heran kalau kemudian dibayang-bayangi oleh berbagai konsepsi ideal yang dihasilkan oleh elaborasi pemikiran-pemikiran liberalis sampai pada tingkat pengambilan kebijakan. Ini tidak lain adalah selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic yang harus didekonstruksi karena telah membawa degresi bagi suatu peradaban yang memiliki entitas khas dari umat manusia. Karena didalamnya ada ketidakadilan, ketidaksetaraan dan ketidakberperikemanusiaan lewat pragmentasi epistemology yang mereka lakukan.
Sederet problem di atas, meniscayakan mahasiswa harus lebih proaktif dalam membaca arah gerak perubahan global yang hampir tidak mau dibaca oleh masyarakat. Sehingga berbagai bentuk problem bangsa yang dihasilkan dari konsekuensi implementasi kebijakan negara yang lebih cenderung beraroma neolib, dapat dikatakan adalah bagian dari kenyataan bahwa Indonesia dan juga Sumbawa adalah bagian dari warga habitat global yang harus direspon dan mendapat perhatian mahasiswa sebagai agen control pembangunan.
Sehingga kehadiran gerakan mahasiswa dalam era neo-liberal adalah mahasiswa yang tidak lagi harus berkayuh dengan gelombang pendek, tidak lagi terbuai dalam perdebatan teoritik “di bangku kuliah” saja habis itu kita kembali kehabitat, mahasiswa yang selalu berusaha untuk melakukan resistensi dengan state secara vis a vis dan juga frontal, melainkan mahasiswa harus lebih bersifat kritis-transormatif, kritis-konstruktif dan kritis tetapi juga obyektif dengan tetap menjaga prinsip independensi-dependensi-interdependensi baik itu dengan negara maupun organ lain diluar itu. Gerakan mahasiswa di era neoliberal ini tidak hanya memperlihatkan dirinya dalam bentuk mengeritik negara ketika negara berlaku diskriminatif terhadap warganya, tetapi yang perlu diingat kehadiran free trade, lembaga-lembaga donor internasional (IMF, WB) serta puluhan TNC’s/MNC’s telah berhasil memangkas sebagian peran penting negara dalam hal penguasaan atas kepemilikan umum karena alasan regulasi, privatisasi, debirokratisasi dan sebagainya. Pada konteks ini hendaknya Gerakan Mahasiswa harus lebih obyektif dalam melihat persoalan “seirama dengan negara” agar negara dapat ditekan untuk tidak larut terlalu jauh dalam permainan tersebut. Sehingga gerakan mahasiswa tetap menampilkan identitas khasnya sebagai gerakan yang idealis, moralis meski era neoliberal ini makin progressif menerobos segmen-segmen sensitiv Gerakan Mahasiswa itu sendiri.
Untuk menjaga agar Gerakan Mahasiswa tetap selalu tampil sebagai gerakan yang ditakuti sekaligus disegani, maka GM harus lebih jeli membaca moment, jangan sampai kegundahan dan kegelisahan diartikulasikan dengan gegabah tanpa pembacaan kritis atas kondisi yang sejatinya dihadapkan kepadanya. Konteks mensyaratkan GM harus bergerak dan teks adalah penuntun bagi keberlangsungan bergerak dinamis dalam konteks, jangan sampai gerakan mahasiswa hanya menjadi pelipur lara dalam kegundahan yang tak mampu memberikan obat penawar bagi penyakit sistem yang ada, hanya karena keteledoran mereka sendiri. GM hari ini tidak harus vis a vis secara frontal sehingga ia terkubur untuk selama-lamanya, melainkan perlu reformulasi dan reparadigmatisasi gerakan dalam melawan dua musuh besar sekaligus yaitu “Negara dan sistem yang tidak berpihak dengan tirani global”

09.43

IDEALISME MAHASISWA

PERCIKAN IDEALISME DALAM GERAKAN MAHASISWA



“ Kenapa begitu bangga setelah benteng kokoh berselimut malapetaka itu roboh, tetapi hanya untuk kembali bercanda ria dalam benteng yang sama? Tidak! tidak salah “mahasiswa” sebagai agen control social atau apapun sebutan prestisius lainnya. Meski mereka berada dalam bara panas sekalipun ia tetaplah air bening dan sejuk yang akan menyiram bara-bara menyala. Percikan-percikan idealisme telah membawa mahasiswa sebagai ikon perubahan social di masyarakat. Alhasil, metamorfosis eksistensi diri gerakan mahasiswa hari ini dan mungkin besok percikan-percikan idealis itu telah diklaim oleh factor pragmatisme yang tengah melanglang buana mencari setiap sisi dan sudut yang “lemah’ dari sentrum gerakan mahasiswa”.

Heroisme perlawanan dengan spirit yang menyala, energi dahsyat seperti pembelahan inti fusi, telah menghancurkan, merobohkan dan menyapu tumpukan-tumpukan kebijakan dan sistem yang despotis, korup dan zalim. Menggandeng idiom-idiom populis seperti “ HAM, civil society, anti militerisme, demokrasi dan lain-lain, mahasiswa dengan berjalan bersama rakyat, kemudian membuktikan dirinya sebagai garda terdepan dalam mendorong masyarakat yang humanis dan demokratis mahasiswa telah menjadi ikon baru oleh masyarakat bagi sebuah proses perubahan terpenting.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap babakan baru sejarah republik ini (baca:pergantian kepemimpinan), kehadiran mahasiswa dengan gerakan-gerakan lewat isu-isu populisnya diakui atau tidak telah menghantarkan nation-state ini keluar dari kemelut tersebut. Kemampuan, kemauan dan keinginan untuk membaca medan gerak dan arah perubahan yang terjadi tidak lepas dari munculnya percikan-percikan idealisme dalam diri dan jiwa muda mahasiswa itu sendiri. Percikan idealisme ini disemburkan dari hasil kreatifitas berdialektika dengan ide dan juga lingkungan yang ada dan kemudian mengejewantahkan dirinya dan melebur dalam bentuk aksi sosial-moral yang dilakoni oleh mahasiswa.
Berangkat dari pembacaan atas historiografi sejarah pergerakan nasional dengan mahasiswa sebagai lokomotifnya, sebetulnya tidak bisa lepas dari pengaruh kemampuan mengolah dan mengelolah percikan-percikan idealisme menjadi sebuah nyala besar yang membakar semangat perjuangan. Sebagai sebuah proses yang berangkat dari hasil pembacaan, dialektika dan pergulatan-pergulatan baik dengan diri individu dan kelompok ataupun lingkungan, tentu saja percikan-percikan ini tidaklah berada dalam garis linear, apakah ia tetap besar atau berkurang untuk kurun waktu yang sudah ditentukan. Melainkan ia relative, ada moment yang membuat ia menggelembung, mengempis dan menyusut. Tetapi adalah suatu hal yang naïf kalau sampai percikan idealis ini dibiarkan konstan hanya pada tahap mengempis, kembang-kempis melulu. Karena eksesnya adalah menjadikan gerakan mahasiswa menjadi kurang populis, lalu digantikan oleh elemen lain yang independensinya masih dipertautkan. Sementara kenyataannya, sampai hari inipun gerakan mahasiswa masih menempati garda terdepan bagi perjuangan menuju civil society, law enforcement, HAM, Demokrasi dan lainnya.
Dalam optic masyarakat, mahasiswa tetap masih disegani dengan gerakan-gerakan moral yang didengungkannya, meskipun disisi lain arah kecendrungan kredibilitas gerakan dengan idiom yang diboncengnya sedikit agak kabur, karena pengaruh kekuatan-kekuatan politik “dominant” dan juga negara yang ikut terlibat dalam upaya melakukan penggeseran peran mahasiswa itu sendiri. Membuat terobosan-terobosan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa tetap saja diasumsikan dan mungkin juga tetap terbonceng interest lain dibelakangnya.
Di aras lain, stigma negative yang muncul belakangan ini adalah bahwa mahasiswa hanya tahu teriak dijalan, demo dan memprotes dan cenderung bermain anarkis ketika aspirasinya gagal dipenuhi oleh penguasa (pemerintah). Tetapi gagal mentransformasikan ide-ide dan memberikan sebuah rumusan konseptual dan solusi terhadap berbagai problematika transisi yang kini dihadapkan pada bangsa-negara (baca : Indonesia). Stigma anarkis yang sering dilakonkan oleh mahasiswa-mahasiswa garis keras, seakan menambah penilaian miring masyarakat akan kegagalan itu.
Mahasiswa hari ini yang oleh sebagian kalangan telah gamang dalam meracik antara idealisme yang dijunjung tinggi dengan materialis-pragmatis yang perlu ditaruh ditempat yang sebenar-benarnya. Menjadikan mahasiswa seolah kembali gagal membesarkan percikan idealis untuk menghasilkan kerja-kerja moral yang berangkat dari gerakan moral yang tidak hanya menyentuh ranah psikologi, emosional dan romantisme belaka, melainkan moral yang menjadi élan gerakan. Sehingga makna moral tidaklah sempit melainkan harus termaknai sebagai suatu sistem nilai yang berlaku universal bagi individu bukan komunitas atau gerakan dan menjadi alat mekanisme control atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, ketika gerakan moral telah menjadi élan gerakan maka gerakan itu akan memperlihatkan outputnya dan senantiasa akan memberi effect bagi munculnya gerakan moral serupa dalam aras negara-bangsa yang nota bene menjadi obyek atau tujuan pressure yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa itu sendiri.
Karena berbicara gerakan moral dalam perspektif mahasiswa maupun pemerintah bisa saja bermuka ganda, sama-sama mengklaim diri sebagai pembawa gerakan moral, baik itu gerakan mahasiswa maupun state sebagai konsekuensi dari ajaran trias politika “Montesquieu”. Di satu sisi, gerakan mahasiswa mengklaim dirinya sebagai elemen penting yang menyuarakan aspirasi rakyat dengan menggunakan idiom sebagai yang telah disebutkan di atas dan kemudian menjadi alat untuk melegitimasi eksistensi gerakan mahasiswa dalam melakukan persinggungan dengan negara. Sementara disisi lain, ada negara sebagai bentuk dari trias politica juga menggunakan legitimasi moral dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Dan untuk memperlihatkan kemampuan mengartikulasikan dan mampu memberi positif effect bagi masyarakat, maka mahasiswa lewat gerakan-gerakan yang dibangunnya harus lebih melihat moral movement sebagai moral force juga dengan kemampuannya menjadikan moral sebagai élan vital gerakan dengan konsistensi pada aras independensinya. Inilah yang akan membedakan dua muka “moral movement” yang dimainkan baik oleh negara maupun mahasiswa.
Inilah sebetulnya bentuk aktualisasi dilapangan hasil dari elaborasi ide-ide cemerlang yang mendambakan masyarakat yang berkeadilan, berkesetaraan, humanis, toleran dan demokratis, terwujudnya law enforcement dan lain-lain, ini adalah konsep ideal yang telah terpercik dan melembaga dalam naluri berfikir gerakan mahasiswa yang kemudian disebut “percikan idealis” dalam makna bahwa mahasiswa identik dengan idealismenya yang tinggi.
Kembali kekonteks gerak sejarah perjuangan kaum muda “mahasiswa” dalam membonceng percikan-percikan idealis yang melumuri dirinya, tetaplah tidak bisa ditaruh dalam bingkai homogenitas, karena tidak semua mahasiswa itu berfikir demikian, ada yang idealis, apatis, konsumtif, hedonis dan bahkan materialis. Ini adalah bumbu dalam gerakan mahasiswa yang menampilkan nuansa genitnya gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang beraroma, punya nilai, karakteristik dan aroma khas dibandingkan dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan pro demokrasi ataupun gerakan-gerakan lainnya. Dengan kata lain bahwa percikan-percikan idealis itu bisa mengembang, mengempis dan bisa juga terjadi muncul kedua-duanya (hal yang sama) pada moment yang sama pula.
Pertama, pada awal-awal kebangkitan nasional dan pergerakan nasional antara 1908-1949 bisa disebut sebagai fase awal perkembangan percikan idealisme dalam tubuh gerakan pemuda-mahasiswa, indicator terpenting dari fase ini bisa dilihat dari semangat untuk merdeka dan berjuang dalam melawan otoritas hegemonik tirani Belanda dan Jepang, terbangunnya naluri kebangsaan yang kemudian melahirkan organisasi-organisasi mahasiswa-pemuda (ada Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes dan lain-lain), dan pada fase ini juga muncul ormas-ormas Islam (NU, Muhammadiyah, Persis), PNI, Parindra, Parkindo maupun organ kemahasiswaan yang dikemudian hari akan mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada fase ini pula lahir sederet peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah bagi negara-bangsa Indonesia. Percikan awal keberhasilan pemuda-mahasiswa dari proses ini adalah Sumpah Pemuda (1928), kemudian pada decade inilah titik kulminasi munculnya tower bagi perjuangan menuju idealisme pemuda-mahasiswa untuk mewujudkan sebuah cita-cita luhur, mulia dan besar. Artikulasi idealisme bagi faham kebangsaan dan ke-Indonesiaan mereka yang dengan gagah berani dan cerdik mencuri moment sehingga melahirkan proklamasi 1945.
Kedua, ini bisa disebut sebagai fase kebekuan idealisme/diskriminasi idealisme yang dipaksakan terhadap kelahiran mahasiswa dengan gerakan-gerakannya. Ini dapat dilacak dari detik-detik menjelang berakhirnya rezim orde lama 1965-1966, kemudian berlanjut kembali ke rezim orde baru selama kurang lebih 32 tahun. Hal yang perlu digarisbawahi bahwa, meskipun mahasiswa bersama-sama dengan ABRI bergandeng tangan dalam meruntuhkan orde lama pimpinan Soekarno, tetapi pada akhirnya gerakan mahasiswa tetap dianggap sebagai gerakan kritis yang dapat membahayakan rezim. Makanya tak heran kalau kemudian gerakan mahasiswa dicurigai, dibuntuti dan akhirnya mengalami depolitisasi. Keadaan ini baru berangsur-angsur pulih ketika gendang reformasi bergema 1998 dan rezim otoriter “orba” jatuh sebagai imbas dari perlakuannya sendiri dan juga permainan imperialisme global yang mulai menunjukkan taringnya dengan berusaha bermain cantik ditengah-tengah kegundahan melanda negara-bangsa (Indonesia).
Ketiga, fase ini bisa disebut masa transisi setelah mahasiswa mengalami keletihan bergayuh dengan gelombang demokratisasi, civil society serta berbagai isu lain yang semakin gencar disuarakan. Seiring dengan naiknya tokoh-tokoh pendukung demokrasi kepuncak kekuasaan. Gerakan mahasiswa kembali diterjang badai ujian yang cukup berat, ketika mereka harus berhadapan antar sesama gerakan mahasiswa menjelang turunnya presiden Gus Dur 2001, percikan idealisme pun semakin berserakan, tidak tentu arah dan tentu saja tak karuan (terkristalisasi). Gerakan mahasiswa pecah, dan kelompok-kelompok kepentingan pun berlomba-lomba mencuri hati GM untuk dijadikan teman sejawat dalam rangka menelurkan berbagai agenda yang mereka usung.
Dari pembacaan sekilas, tampak bahwa sesungguhnya percikan itu relative bukan konstan, Sehingga berbagai agenda urgen gerakan tidak bisa terealisasi. Ini bukan hanya karena factor “negara” yang tidak serta merta meloloskan apa yang mereka inginkan dan atau juga “mahasiswa” yang secara internal telah gagal dalam membaca Indonesia tanpa mempertimbangkan dan menghitung alur gerak internasional. “Mahasiswa telah terhanyut dalam membaca gerak dunia dalam perdebataan teoretik yang kental, dan terhisap dalam perdebatan itu sendiri, sehingga problem survival bangsa tak kunjung diantisipasi” (Hasanuddin Wahid, dkk, 2005). Atau bahasa lain adalah bahwa mahasiswa akan semakin gagal dalam menemukenali identitas idealisme mereka dalam memperjuangkan tujuan-tujuan ideal mereka, tatkala mereka tidak mampu membaca arah gerak kemauan sistem (negara) dan juga perubahan global sebagai akibat globalisasi dan penerapan doktrin neoliberalime yang dipaksakan ke seluruh dunia.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa dalam konteks kekiniannya memiliki dua versus sekaligus yaitu negara yang otoriter, korup, tidak berpihak kepada rakyat, yang diskriminatif dan juga imperialisme global. Dalam optic negara “jangan sampai kehadiran mahasiswa dengan gerakan sebagai musuh yang harus dibabat” melainkan sebagai opisisi yang loyal selama negara berlaku adil dan berwatak konstruktif. Tetapi karena desakan global yang mau tidak mau membuat negara juga tak berdaya, maka negara juga bersama semua stake holder bangsa harus sevisi dan semisi dalam melihat Indonesia kedepan.

09.41

KEARIFAN BERSAMAWA

BERSINERGI MENUJU KEARIFAN BER-SAMAWA

“ Sabalong Samalewa, Senap Semu Nyaman Nyawe, sebuah slogan yang kerapkali kita dengar dan dijadikan sebagai konsepsi filosofis untuk menumbuhkan ghirah dalam membangun desa darat/Tana Samawa. Ironisnya, konsepsi ini masih sekedar sloganisme yang berselimut utopisme bagi harapan akan kemajuan masyarakat. Metanarasi ini haruslah didorong agar menjadi riel, sehingga apapun harapan, keinginan untuk membangun tana Samawa menjadi yang Sabalong Samalewa Senap Semu Nyaman Nyawe dibutuhkan kearifan semua pihak dengan mensinergiskan semua kekuatan yang dimiliki mulai dari pemerintah, perguruan tinggi yang ada sampai dengan petani dan nelayan untuk berjalan bersama. Samawa bukan hanya milik Bupati, Wabup, DPRD tetapi milik seluruh Tau Samawa, milik Indonesia dan sebagai warga habitat global.” (Penulis, 16 Maret 2007)

Implikasi dari lahirnya otonomi daerah adalah bahwa daerah khususnya tingkat II (kab/kota) setidaknya harus mampu berada digarda terdepan dalam proses percepatan pembangunan multi sektor kehidupan masyarakat. Apakah itu lewat pemberdayaan semua potensi local yang ada seperti hasil perkebunan, pertanian, peternakan, hasil hutan, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan yang murah, SDM aparatur sampai reformasi sistem birokrasi pemerintah di daerah.
Kemampuan untuk mengelolah dengan baik segala potensi yang ada berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan ditopang oleh niat yang tulus dan arif dengan kesadaran bersama bahwa tanggung jawab ini adalah milik bersama. Sebuah sinergi yang kemudian akan mengapus secara perlahan-lahan naluri dan syahwat yang justru akan mendorong terhambatnya berbagai kegiatan pembangunan, karena pemerintah bukan lagi berfikir bagaimana mendapat block grant, dana hibah, investor asing atau bagaimana memikirkan bahwa APBD tahun ini sejatinya Belanja Aparatur masih perlu lebih besar dari belanja pembangunan. Tetapi pemerintah sudah mulai berfikir bagaimana meningkatkan kualitas hasil-hasil pertanian, peternakan dan perkebunan sehingga dapat bersaing di aras lokal, regional, nasional dan tidak menutup kemungkinan internasional, pemerintah mulai berfikir bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan dengan mendukung keberadaan pendidikan tinggi local melalui dukungan finansial yang diharapkan akan dapat membantu terciptanya kualitas SDM daerah, bagaimana agar jalan-jalan di semua kecamatan itu harus dikerjakan sesuai dengan aturan, prosedur/bestek yang tidak manipulatif, sehingga dana yang sudah dikeluarkan tidak menjadi sia-sia.
Semua ini mungkin baru terwujud jika semua elemen dan stake holder bekerja secara optimal dan profesional dan pemerintah diharapkan responsive, aspiratif dan partisipatif, transparan, akuntabel, punya ketegasan terhadap control sasaran, auditing yang efektif terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Perwujudan dari konsep ber-Samawa pada hakekatnya bagaimana mendorong agar Tana Samawa, Tau Samawa dapat lebih progressif dalam mengejar ketertinggalan dalam segala ranah kehidupan masyarakat dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, spesifiknya di NTB, ada secercah harapan baru yang lebih cerah di hari esok setelah kita telah melewati masa-masa yang suram. Jangan sampai hari ini akan lebih jelek dari hari esok. Sehingga progresifitas yang dibutuhkan adalah kreatifitas, inovasi dari masyarakat setelah pemerintah berhasil membuat regulasi-regulasi yang mencerminkan kreatifitas dan inovasi yang telah dibuat dan dilaksanakan melalui program-program pembangunan yang dibuat. Karena apapun alasan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka mendorong percepatan pembangunan sepanjang dilakukan dalam kerangka otoritas yang steril maka sesungguhnya itu adalah sia-sia, meski Bupati telah diganti ataupun Anggota Legislatif telah banyak yang diganti, karena titik lemah dari ketiadaan naluri “ingin maju” tetap saja muncul.
Tidak mengherankan jika kegiatan-kegiatan pembangunan tidak mampu menunjukkan peningkatan yang berarti, “kita seakan telah terjebak dalam permainan sloganistik-formalistik yang dapat menyihir ratusan ribu masyarakat” . Suatu contoh, misalnya pada kasus Sumbawa di pembahasan APBD 2007, PAD sempat mengalami penurunan dengan suatu alasan eksekutif bahwa ada pos pendongkrak PAD yang hilang, tetapi argument yang perlu disodorkan kemudian adalah apakah hanya dengan pajak bea-masuk kendaraan itu saja sumber PAD kita bergantung? Tentu akan sangat fatal menyimpulkan, ini konsekuensi dari ketiadaan inovasi dan kreatifitas dalam melihat dan melirik berbagai potensi daerah yang sebetulnya sangat potensial untuk peningkatan PAD. Yang sungguh ironis adalah ada sederet pertanyaan yang perlu dijawab, adalah apakah pajak hasil perkebunan seperti Cokelat, Madu, Kemiri, Vanili, Padi, Jagung atau hasil-hasil Ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, unggas) atau potensi susu kuda liar atau potensi sarang burung walet misalnya, kalau dikelolah secara optimal tidak bisa mendongkrak PAD, atau pernahkah pemerintah memikirkan atau berfikir bahwa dengan adanya sertifikat / lisensi organik terhadap kopi Sumbawa berarti harga dari yang semula hanya berkisar 5000-7000/kg akan melonjak sampai kisaran 25.000-30.000/kg itu bukanlah pos yang akan mendongkrak PAD ? atau Jambu Mete, Cokelat, Rumput Laut, Udang dan lain-lain tidak lebih signifikan kontribusinya bagi peningkatan PAD ?
Belum lagi yang menyangkut daerah-daerah potensial untuk tujuan wisata, ada Saliperate, Batu Gong, ada Ai Beling, Dalam Loka, Ada Sarkopagus Batu Tering, ada Sarkofaguis dan Batutulis Tepal (200 tahun B.C) dan Gua atau liang yang eksotis dengan 12 kamar, lengkap dengan kolam di dalamnya (Kaduk), dan masih banyak lagi, belum daerah yang potensial untuk agro industri, sebenarnya begitu banyak potensi lokal yang terpendam yang belum mampu kita kelolah, belum mau kita manfaatkan dengan baik dan kita lirik. Rupanya kita masih belum siap melaksanakan apa yang diinginkan sebagaimana yang tertulis di motto daerah ini, kita seakan masih larut dalam dinamika politik yang selalu berujung kekuasaan, apa yang akan diperbuat, diprogramkan, bukan lagi dilihat sebagai sebuah kewajiban dan tanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai public servicer, tetapi hampir semua agenda program kerja itu sesungguhnya di sadari atau tidak selalu dititipi muatan-muatan politis.
Mampukah pemerintah bersikap arif bahwa jalan usaha tani, pengadaan hand traktor, pemberian bea siswa untuk siswa sampai mahasiswa, perbaikan sarana transportasi kedesa-desa terisolir itu lebih penting ketimbang peningkatan penghasilan bagi Sekda dan Assisten dilingkup Setda atau ketimbang pengadaan Rumdis untuk Wabup atau pun Mobdis untuk para kadis sampai kasubdin? Ketika kebutuhan masyarakat sudah bisa dipenuhi, aspirasi masyarakat bisa dikabulkan, barangkali ini bisa ditolelir. Tetapi masalahnya sekarang adalah semua harapan itu masih diselimuti rasa harap-harap cemas. Kalau ini masih terus dilakonkan, dikhawatirkan bahwa ini akan menjadi blunder bagi legitimasi pemerintah yang ada. Ini tidak lebih sebuah prinsip yang menyangkut keinginan masyarakat untuk bisa lebih maju kedepan.
Titik kelemahan daerah dalam konteks Otonomi-Desentralisasi adalah kebutuhan yang selalu ingin direspons oleh warga habitat global lainnya. Kehadiran tambang (TNC’s dan MNC’s), keinginan berbagai investor asing untuk menanamkan modalnya, FIF, sampai Mc. Donald adalah bukti respons global terhadap daerah. Yang perlu kita ingat bersama bahwa Indonesia dan juga Sumbawa hari ini bukan lagi milik mereka sendiri, dengan tanpa berfikir banyak, kepentingan internasional sudah banyak mengintip resources-resouces yang kaya di daerah. Sehingga apapun bentuk bentuk regulasi-regulasi pusat ataupun daerah, oleh karena pengaruh utang luar negeri, investor asing, geopolitik dan keamanan trans nasional, Block Grant dan Hibah lainnya untuk pendidikan, maka negara akan sulit untuk keluar dari pengaruh tersebut atau dengan kata lain membersihkan regulasi-regulasi dari anasir-anasir kepentingan global tentu akan sangat sulit diwujudkan.
Ini sungguh dilematis (baca: spesifiknya negara), tetapi pada aras lokal ini mungkin masih bisa ditolelir, karena belum terlihat respons global itu dalam konteks yang luar biasa dalam menjustifikasi berbagai bentuk hegemoninya yang dipaksakan terhadap daerah-daerah.
Bentuk perwujudan dari sinergisitas kearifan ber-Samawa adalah ketika telah terjadi harmonisasi menyangkut hubungan antar lembaga eksekutif, antara eksekutif dengan legislatif maupun antara pemerintah dengan semua stake holder yang ada (apakah itu kampus dengan akademisi dan mahasiswanya, LSM-LSM, OKP-OKP dan juga masyarakat secara keseluruhan), dan mampu menciptakan bangun visi dan misi bahwa kebangunan masyarakat dan Tana Samawa adalah tanggung jawab semua, oleh karenanya diperlukan kearifan yang mendalam dan saling memberi ghirah, saling mendukung dan para pemimpin harus siap dikontrol oleh masyarakat sebagai bentuk perwujudan keprihatinan akan masa depan masyarakat, tanah Samawa dan juga Indonesia dalam aras yang lebih luas.
Pertama, bentuk sinergi yang dibangun adalah menyangkut reformasi dan restrukturisasi internal organisasi pemerintah serta penataan sistem administrasi pelayanan yang dilakukan dalam lingkup birokrasi itu sendiri. Dengan suatu argumen bahwa akan sangat sulit menghasilkan sebuah pemerintah yang legitimate, responsive dan accountable tanpa keinginan untuk mewujudkan ketiga prinsip itu oleh pemerintah itu sendiri, tentu akan sangat sulit mewujudkan birokrasi yang birokratis, misalnya jika antara Bupati dengan Wakil Bupati atau Sekda lain maunya, lain agendanya, tidak mampu sevisi, semisi sebagaimana bangun visi-misi yang digulirkan ketika kampanye. Ini fenomena dalam dinamika birokrasi yang top manajemennya dipegang oleh orang-orang yang datang dari latar politik atau diusung oleh kekuatan-kekuatan politik. Sehingga tidak heran kalau jarang ada agenda dari program-program pembangunan yang steril dari political interest, ini fakta riel dalam kasus daerah-daerah hampir di seluruh Indonesia. Gejala-gejala koncoisme, kronisme sampai parteisme bukan barang baru yang menjadi ajang debat para wakil-wakil rakyat yang terhormat dilembaga legislative. Rupanya eksekutif pun begitu respek dan mampu membaca gejala ini untuk kemudian memancing di air keruh, moment penyusunan APBD, Proyek-proyek Fisik, sampai pembahasan APBD adalah lahan garapan empuk yang ingin dimanfaatkan oleh elit-elit birokrasi dan juga individu yang selalu melanglang buana mencari mangsa untuk ingin berkontribusi.
Kalau ditelaah lebih jauh ini bukanlah scenario komunal untuk mempertahankan otoritas dan image secara komunal “an sich” , tetapi ini sudah masuk pada domain pendelegitimasian terhadap otoritas individu dan akan merembet kearah parteisme, koncoisme dan komunalisme antar top management yang ada. Dan saya kira ini tidak sehat dalam membangun sinergi untuk merombak sistem dari kebekuan sementara membaca gerak kenyataan global yang begitu cepat merembes kedaerah. Steger (2002), melihat ekses dari keterkaitan global ini akan ikut menghempas kredibilitas pemerintah daerah, sehingga untuk mengantisipasinya daerah harus mampu membaca gejala “increasing global interconnectedness” yang semakin menuju ke daerah.
Aspek terpenting dari perlunya mensinergiskan potensi-potensi internal birokrasi adalah karena dalam posisi sebagai warga habitat global, maka tidak mungkin bahwa budaya-budaya dan perilaku birokrasi tidak akan dipengaruhi oleh faktor prestise, jabatan, kekuasaan dan uang sehingga birokrasi sebagai public servicer akan mengalami degresi pada ranah kepercayaan yang ingin dibangunnya. Perebutan pengaruh, kekuasaan dan uang demi posisi terhormat dan prestise sudah bukan barang baru dalam dinamika birokrasi local.
Kedua, menyangkut hubungan antara pemerintah dengan stake holder lain semacam elemen-elemen kritis lain yang ada di aras local. Salah satu elemen yang sampai hari ini masih dianggap cukup independent adalah kehadiran lembaga-lembaga pendidikan tinggi di mana ada akademisi dan juga student movement bernaung di situ, kehadiran mahasiswa maupun akademisi dengan kontrol-kontrol kritis yang kerap dilakukannya bisa menjadi motif munculnya hubungan yang tidak sinergis antara pemerintah dengan mereka. Sikap kritis dan kadangkala dianggap sebagai “over kritis” yang dilakonkan oleh mahasiswa sering direspons secara keliru oleh penguasa sebagai sesuatu yang dekonstruktif dan menjadi penghambat pembangunan dan dari hasil reduksi lebih jauh yang dimunculkan adalah bahwa “ini bila perlu tidak usah direspons” dan mereka tetap menjadi aman dari kritik meski banyak penyimpangan yang dilakukan. Pemerintah telah meletakkan hubungan ini dalam bingkai interdependensi akut sebagai akibat dari adanya legitimasi otoritas yang dilekatkan kepadanya, eksesnya satu diantara dua pihak harus ada yang tersisihkan (baca: elemen kritis), terjadinya pengurangan dana bantuan untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi adalah salah satu ekses dari ketidakharmonisan ini. Dan ini berbahaya bagi keinginan untuk melahirkan generasi muda bangsa yang berkualitas dan berperadaban, free market of ideas hanya akan menjadi fatamorgana, padahal salah satu syarat untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah pembebasan diri individu dari belenggu otoritas penguasa dalam hal kebebasan berwacana, berdialektika dan berkreasi ide yang didukung oleh sistem yang ada dalam negara tersebut.
Sorotan dan kritikan yang digulirkan jangan sampai dilihat sebagai upaya untuk mendelegitimasi kredibilitas pemerintah, melainkan harus direspons secara arif dan bijaksana, pada prinsipnya itu bukanlah blunder, tetapi ini adalah dalam kerangka kritik-otokritik yang tentu sangat berguna bagi peningkatan kualitas kinerja yang akan dilakonkan oleh negara/pemerintah. Alasan lain yang dapat dikemukakan dalam konteks ini adalah menyangkut kegundahan dan kegelisahan yang kian melanda benak-benak elemen control setelah mereka letih bergayuh dan bergulat dengan gelombang panjang dan pendek dalam menginginkan harapan-harapan ideal bisa terwujud sebagaimana harapan-harapan yang digulirkan oleh teori-teori ideal yang telah dilahapnya sendiri, landasan filosofis serta paradigma pembangunan maupun regulasi-regulasi yang cukup bagus di atas kertas, tetapi cukup rapuh di dalam praktek sesungguhnya, menjadi salah satu alasan munculnya kegundahan dan kegelisahan tersebut. Hanya saja, barangkali mungkin kesalahan ini tentu tidak bisa sepenuhnya ditimpahkan ke “pemerintah saja”, karena ia bukanlah subyek yang memiliki sifat “maha”, memiliki otoritas sacral yang haram di sentuh kritik dan tidak luput dari kelemahan. Saya kira yang terpenting untuk di catat bahwa meski untuk mendorong masyarakat menjadi maju, rakyat menjadi sejahtera dibutuhkan sikap ta’awun dan semua elemen harus bergerak bersama, rakyat harus diberi ruang untuk beraspirasi dan berpartisipasi, pemerintah harus siap dengan sikap transparansi, akuntabilitas serta mampu menjaga kredibilitasnya, tetapi di sisi lain kita juga harus memberi dukungan terhadap berbagai program yang telah dijalankan pemerintah demi civil society, demi masyarakat yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Kalau hubungan ini dapat dijaga, maka bukan mustahil akan terjadi hubungan yang saling menguntungkan, saling memberi kontribusi bagi peningkatan pembangunan di daerah, khususnya dibidang pendidikan. Lembaga pendidikan tinggi telah tampil sebagai pengekspor SDM yang rutin ke daerah, sebagai motivator dan inspirator bagi tumbuhnya ghirah dalam membangun dan melayani rakyat dan solutor bagi permasalahan pembangunan yang kerapkali dihadapkan kepada pemerintah daerah dan sebagai mitra kerja pemerintah dalam mendorong percepatan pembangunan yang lebih progressif di daerah, terjadinya simbiosis-mutualis antara keduanya, pemerintah tidak perlu kalap, dan akan senantiasa mendapat input-input segar tentang arah serta konsep pembangunan spesifiknya di daerah. Apakah pemerintah daerah tidak berani untuk mengeluarkan kocek hanya tidak kurang dari 1-2 Miliar saja dari APBD untuk membebaskan siswa atau mahasiswa dari biaya pendidikan, dan saya kira itu bukanlah nominal siginifikan yang akan memberatkan ketimbang jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk pos-pos yang belum tentu kontributif dan terkesan membebani daerah, atau pernahkah kita berfikir untuk bagaimana meningkatkan penghasilan para Guru, Kepala Desa sampai RT yang justru menjadi inspirator dan penggerak pembangunan di daerah ?
Kalau semua problem survival ini bisa dijawab, maka harapan yang kita cita-citakan, yang diinginkan, Samawa yang Sabalong Samalewa Senap Semu Nyaman Nyawe yang katanya “ Menjadikan Samawa yang Mampis Rungan” tidak mustahil tidak akan terwujud jika pemerintah merangkul semua elemen dalam satu shaf yang padu untuk bersinergi dengan landasan nilai kearifan menuju cita-cita dan harapan yang lebih baik di masa-masa yang akan datang.

09.38

MASYARAKAT MADANI

MASYARAKAT MADANI; ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

“Meski ide civil society atau Masyarakat Madani adalah salah satu konsep yang cukup fantastis untuk saat ini. Tetapi rasanya harapan mulia itu dalam realitasnya masih seperti utopia saja, karena mewujudkan civil society atau masyarakat madani (MM) jelas membutuhkan cost yang luar biasa. Walau bagaimanapun konsep ideal ini haruslah menjadi agenda hari ini dan kedepan. Bukan menjadikan cita-cita ini sebagai konsep teoritik yang kental dengan suguhan-suguhan harapannya yang kering. Tetapi, tidak ada salahnya kita bercita-cita, ketimbang tidak sama sekali” @i-bru ikhtiar, 16 Juni 2007 Gesekan-gesekan dan persinggungan-persinggungan intelektual sebenarnya sudah lama dan bahkan terus berlanjut sampai hari ini, tidak hanya di mimbar akademik tetapi telah merambah, menyusup dan menyelinap dunia birokrasi, politisi, mahasiswa dan bahkan petani sampai tukang ojek pun telah terkontaminasi oleh ide dan harapan utopis ini. Hanya saja harapan mulia ini, stagnan pada aras wacana, seiring dengan multi problem yang mengguyur instrumen MM itu sendiri. Sehingga wacana MM atau CS (civil society) kian hari terasa semakin redup saja. Mengapa ini dianggap olek kaum yang memang pesimistis dengan terealisasinya MM sebagai harapan yang lebih bersifat utopis ketimbang realistis. Ini boleh jadi karena merealiasasikan ide ini akan ada cost yang luar biasa disitu. Mulai dari penyiapan infra dan suprastrukturnya, SDM-nya, law enforcementnya, kesiapan birokrasi untuk “dengan kesadaran bahwa akan ada yang dipotong dengan tiba-tiba sebagai akibat penegakan hukum atau law enforcement secara konsisten, komitmen politik dari semua partai politik untuk menjalankan fungsi dan peran mereka sebagai elemen bangsa dalam mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang dewasa dalam berpolitik. Lalu bagaimana jika ide ini akan terwujud atau lebih tepatnya akan segera diwujudkan, sebagaimana harapan kita semua. Meski dalam konteks yang lebih riel belum terlihat, tetapi pada aras ide, ini sudah mulai digaungkan oleh pemerintah terutama pasca reformasi. Pertanyaan yang paling penting untuk dikemukakan adalah, lantas kita akan memulai dari mana mewujudkan ide mulia MM atau CS ini ? Pada prinsipnya pendapat yang dikemukakan ini boleh saja dipandang sebagai analisis yang muatan obyektifnya masih dipertautkan, terutama jika dikoneksikan dengan optic scientific research. Tetapi diskursus tentang MM yang terus dilakukan diharapkan akan dapat menjadi medium perantara dalam membentangkan sutera yang kusut dari kelopaknya untuk terus dibingkai dalam rajutan permadani yang indah dan segar dipandang dalam mencari tipologi ideal bagi keberlangsungan hidup umat manusia ditengah kegalauan dan kegundahan mereka sendiri dalam menghadapi kompleksitas problem yang mereka hadapi, dan ini seakan tetap menjadi komitmen mereka para ahli-ahli yang memang secara intens menggeluti bidang ini. Meminimalkan Faktor Dependensi Belajar tanpa pemerintah, demikian Almarhum Nurcholis Madjid mengungkapkan ketika mengkritisi kinerja Pemerintah saat itu yang masih relevan digunakan saat ini sebagai bahan renungan ketika kita melihat ketidakmampuan Pemerintah membawa masyarakat kearah yang lebih baik. Tentang bagaimana kita membiasakan diri Belajar tanpa Pemerintah, sekaligus tanpa parlemen, caknur memberikan saat ia bertemu seseorang pengusaha muda sukses, yang hampir setiap bulan dipastikan pengusaha muda itu berada diluar negeri untuk mengurusi dagangannya. Konon diluar negeri dia sering ditanya bagaimana kabarnya Indonesia, sudah menjadi rahasia umum orang asing terbiasa meremehkan bahwa Indonesia adalah negara miskin dengan pemerintahan yang amburadul. Negara boleh miskin tetapi tidak penduduknya di luar Negeri saya selalu katakan. Saya nggak ada urusan pemerintah, pokoknya saya dagang kata pengusaha sukses tersebut ( Pepih Nugroho.2001.128-129). kondisi psikologis seperti yang dialami pengusaha muda inilah yang harus dikembangkan di masayarakat, artinya ada atau tidak ada pemerintah, sama saja.bahwa bangsa Indonesia sudah terbiasa menyandarkan penyelesaian masalah kepada pemerintah, itu karena cukup lama negara ini berada dalam sistem pemerintahan yang selalu sentralisasi dan Top Down, akibatnya secara tidak sadar bangsa Indonesia memiliki satu sikap kejiwaan semua menunggu dari atas padahal demokrasi tidak mensyaratkan demikian meminjam ungkapan terkenal di Amerika Serikat, bahwa Pemerintah yang baik adalah yang sedikit memerintah. Suasana psikologis semacam inilah yang seharusnya justru dipahami, dibangun dan dikembangkan bersama. ( Ibid, Pepih Hal.130 ) Belajar sekaligus melupakan pemerintah, bukan berarti mengabaikan melainkan menganggap Pemerintah sebagai Given atau sebagai barang Formal. Pemerintah dan Negara tidak lagi dianggap sebagai hasil dan kontrak sosial atau Barang publik yang berpengaruh terhadap kehidupan. Aktivitas sosial – ekonomi dengan baik mampu mengembangkan potensi ekonominya dengan baik, mampu mengembangkan potensi secara mandiri atau membangun keluarga dengan baik dan berkelanjutan tanpa harus dipengaruhi oleh kebijakan dan regulasi pemerintah, termasuk perilaku elit. Mungkin ini merupakan gagsan liberal yang fatalis, tetapi secara empirik gejala menuju post–government society benar-benar terjadi dalam masyarakat. Para petani, nelayan, pedagang kecil, buruh, calo dan yang lain bisa menjalankan aktivitas sosial ekonomi tanpa berpikir tentang negara. Banyak komunitas muslim yang membangun jaringan sosial ekonomi secara komunall dan mandiri, tidak sedikit koperasi yang tumbuh besar menjadi penyangga ekonomi rakyat tanpa difasilitas oleh negara. Mereka semua memang tidak bisa lepas dalam pelayanan administratif negara dan pemerintah (KTP,SIM, Akte Kelahiran, Paspor, IMB, Perizinan dan lain- lain) dan kewajiban membayar pajak pada Negara, tetapi secara empiriK, hidup mereka tidak tergantung pada kebijakan pemerintah dan santunan dari Negara, Namun tidak semua elemen masyarakat mampu secara mandiri melupakan negara. Kelompok-kelompok marjinal dan tereksploitasi oleh Negara maupun capital namun tidak bisa berbuat banyak jika tidak di fasilitasi oleh negara dan Pemerintah. Banyak hal yang menyebabkan tumbuhnya gejala post–government, society, Pertama; pendalaman kapitalisme dan arus globalisasi (ekonomi, informasi tekhnologi, dan budaya) yang telah mebuat hilang batas–batas Negara Bangsa (Borderless). Kedua, Kemauan dan kemampuan individu mengembangkan diri secara mandiri mampu menjalin jaringan sosial ekonomi secara politik tanpa fasilitasi oleh negara, ketiga, ketidakpercayaan public kepada pemerintah (kebijakan institusi regulasi maupun perilaku penguasa) yang membuat individu maupun kelompok masyarakat memilih Alternatif di luar negara dan pemerintah secara mandiri. Membangun Leadership dan Common Platform Fenomena di atas menjadi tantangan serius bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk membangun leadership dan common platform bersama untuk membawa negara lebih dekat ke rakyat, guna melahirkan kebijakan yang tepat sesuai kebutuhan masyarakat melalui beberapa strategi dan rekomendasi penting; Pertama, memerlukan peranan, dimana kap[asitas pemerintah dalam melakukan dan promosi aksi kolektif dalam proses pembangunan transformasi ekonomi distribusi sosial misalnya dalam konteks pemeliharaan law and order, kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar dan lain-lain sesuai tuntutan masyarakat. Kedua, perlunya membangkitkan kapasitas pemerintah lewat penguatan institusi public. Strategi ini mencakup desain peraturan yang efektif, control kinerja institusi-institusi birokrasi. Ketiga, memadukan antara kapasitas pemerintah, desentralisasi dan partisipasi masyarakat. Kapasitas negara, partisipasi masyarakat dan desentralisasi merupakan konsep untuk menghilangkan stigma “belajar tanpa pemerintah” kapasitas pemerintah dan partisipasi punya kaitan yang sangat erat yang dirumuskan dalam kerangka penguatan akuntabilitas,, responsifitas dan transparansi penyelenggaran pemerintahan melalui partisipasi organisasi sukarela maupun NGO dengan memperkuat basis partisipasi dengan cara bekerjasama. , Pemahaman bersama arti pentingnya peran Negara dalam masyarakat dan membangun modal sosial (social capital) yang tidak mengandalkan hubungan kontraktual dan aturan formal yang bekerja secara mekanis, maupun pada ikatan –ikatan primoradial yang sempit, melainkan bersandar pada nilai–nilai atau norma informal maupun ikatan civility (penghormatan pada pluralisme dan toleransi) yang menjadi panduan utama ( working rules) bagi setiap orang untuk berfikir dan bertindak–aturan informal yang dibangun oleh kesepakatan bersama itu, bisa menjamin keberlangsungan hubungan–hubungan sosial dan memungkinkan masyarakat melakukan kerjasama untuk kemajuan yang bermanfaat. Mewujudkan Masyarakat Madani; Suatu Keniscayaan Bukanlah sesuatu yang sulit, tetapi bukan pula hal yang mudah mewujudkan masyarakat yang di dalamnya ada kebebasan “yang disetujui dan disepakati public” sebagai apa yang tersirat dalam makna kebebasan yang dituntut oleh MM. Tetapi ada hal penting yang perlu kita cermati berkaitan dengan arus deras dan angin kencang modernisasi dan globalisasi. Pertama, datangnya era globalisasi telah memaksa kita untuk mau dan mampu terlibat aktif didalamnya, bukan mencaci apalagi menjauhinya. Karena kita akan tergilas oleh truk besar tekno-ekonomi (teknonomi) meminjam istilah Kenichi Ohmae dalam Borderless World. Sehingga kita dituntut untuk menyiapkan instrument yang memadai dalam menantangnya untuk siap berkompetisi secara sehat dan elegant. Era globalisasi sebagai (post modernisme) memaksa negara untuk belajar merelakan warganya untuk bebas “bukan tanpa batas dan melompati kesepakatan universal yang ada”. Sehingga kebebasan warga negara menjelma dalam bentuk dukungan penuh dari negara untuk memahami dan mewujudkan makna kebebasan yang telah diberikannya itu, yaitu rakyat yang bebas berkreatifitas, berdialektika dan bebas menggunakan dan menikmati fasilitas-fasilitas yang telah disediakan oleh negara dan bebas mengkritik negara “ketika negara melakukan sesuatu diluar koridor yang telah disepakati bersama. Kedua, globalisasi yang tidak hanya kita fahamkan sebagai manisfestasi kehendak riel informasi, ekonomi dan politik. Tetapi ada globalisme yang membawa sedetan nilai yang bisa saja kontra dan bahkan superkontradiktif dengan sistem nilai dan budaya yang kita anut, kearifan lokal, social capital atau identitas khas sebuah komunitas akan terjaring, masuk dalam perangkap bahaya globalisme yang dating tanpa permisi dan tanpa belas kasihan. Semua nilai-nilai luhur budaya bangsa akan tenggelam dan akan tergilas oleh truk besar tekno-ekonomi atau teknonomi, meminjam istilah Kenichi Ohmae, jika semua instrument budaya tidak kita siapkan dan kekuatan SDM tidak kita siapkan. Jati diri kita sebagai bangsa akan Collaps dihadapan negara lain, karena ketidaksiapan kita menantang arus besar dan badai kejam globalisasi yang tidak mengenal belas kasihan (free competition) yang kadang tidak pernah kita bayangkan dan tentu kita akan mengalami shock, jika terapi dinii dan lanjutan tidak kita lakukan dan siapkan. Olehnya, Qodry Azizy (2003) mengajukan tawaran solutif yang cukup penting untuk kita cermati dan kita lakukan yaitu kesiapan SDM (menguasaii IPTEK dan kualitas IMTAQ yang tidak diragukan lagi). Dalam konteks ini, Azizy melihat bahwa agama menjadi instrument vital dan benteng utama dalam menghadapi era baru yang selalu akan didominasi oleh cultural war. Dengan demikian bukan tidak mungkin akan terjadi tragedy delegitimasi budaya/agama pada masyarakat yang mungkin selama ini mengagungkan budaya dan agama. Dan masyarakat madani (MM) menjadi suatu kebutuhan untuk segera direalisasikan. Meski masyarakat madani identik dengan demokrasi, demikian kata Dahl dan Arend Lijphart, tetapi John Hall dalam In Search tetap memandang bahwa “democracy can be decidedly incivil” atau demokrasi dapat diambil keputusan dengan cara tidak beradab. Terwujudnya civil society baru akan terlihat jika semua kehendak, aspirasi dan kebutuhan warga negara minimal telah dapat dipenuhi oleh negara “ada kebebasan yang dihargai telah terwujud”. Karena menengok kembali definisi Masyarakat Madani (Civil Soceity) yang diajukan Salvador Giner dalam Civil Soceity and its Future yang mengatakan bahwa “ Civil Soceity is a historically evolved sphere of individual right, freedom and voluntary associations whose politically undisturbed competition which each other in the pursuit of their respectif private concern, interest, preferences and inventions is guaranted by public institution, called the state……” atau masyarakat madani adalah kondisi yang secara histories dikembangkan dari hak-hak individu, kebebasan dan perserikatan sukarela di mana kompetisi satu sama lain secara politis tidak terganggu dalam rangka memperoleh perhatian, kepentingan, pilihan dan tujuan pribadi secara berurutan telah di jamin oleh lembaga public yang disebut dengan negara……” Munculnya hubungan yang sinergis antara semua elemen dalam negara, dan negara telah mampu memberi peluang yang cukup besar bagi warganya untuk melakukan kreasi dan inovasi diri, berkembang dan pemerintah memberi wadah untuk bagaimana masyarakat bisa terberdayakan dengan baik dan pemerintah bila perlu “tidak terlalu campur tangan” dalam setiap aktivitas masyarakat dalam upaya mencerahkan diri mereka. Tetapi, peran pemerintah adalah melayani, memberi apa kebutuhan mereka. Ketika hal tersebut sudah bisa dipenuhi, maka harapan akan terwujudnya civil society atau masyarakat madani bukan tidak mungkin tidak akan terwujud. Wallahulmuaffiq illa aqwamittharieq.

09.30

PERMAINAN DOMINO

PENERAPAN SISTEM PERMAINAN DOMINO
UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI SISWA
PADA POKOK BAHASAN BILANGAN BULAT

OLEH:
ABDUL MALIK

A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan Hasil Penelitian The Third International Mathematic and Science Study Repeat (TIMSS-R) pada tahun 1999 menyebutkan bahwa di antara 38 negara, prestasi siswa SMP Indonesia berada pada urutan 34 untuk matematika. Sementara hasil nilai matematika pada ujian Nasional, pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang rendah. Keadaan ini sangat ironis dengan kedudukan dan peran matematika untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan, mengingat matematika merupakan induk ilmu pengetahuan dan ternyata matematika hingga saat ini belum menjadi pelajaran yang difavoritkan.
Kalau kita tilik lebih dalam lagi, berdasarkan penelitian yang juga dilakukan oleh TIMMS yang di publikasikan 26 Desember 2006, jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan Malaysia dan Singapura. Dalam satu tahun, siswa kelas 8 di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika. Sementara di Malaysia hanya mendapat 120 jam dan Singapura 112 jam. Tetapi kenyataannya, prestasi Indonesia berada jauh di bawah kedua negara tersebut. Prestasi matematika siswa Indonesia hanya menembus skor rata-rata 411. Sementara itu, Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605 (400 = rendah, 475 = menengah, 550 = tinggi, dan 625 = tingkat lanjut). Artinya “Waktu yang dihabiskan siswa Indonesia di sekolah tidak sebanding dengan prestasi yang diraih.
Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) sering kali menghinggapi perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan tinggi. Padahal, matematika itu bukan pelajaran yang sulit, dengan kata lain sebagaimana dituturkan oleh ahli matematika ITB Iwan Pranoto, setiap orang bisa bermatematika. Tetapi nyatanya banyak siswa yang menganggap pelajaran matematika sebagai momok yang menakutkan bahkan ada yang mendefinisikan matematika dengan ”makin teliti makin tidak karuan” dan banyak lagi ungkapan serupa yang dilontarkan siswa terhadap matematika.
Hal ini tidak terlepas dari metode pembelajaran yang yang diterapkan guru disekolah. Rendahnya penguasaan matematika diduga karena metode pembelajarannya kurang membangkitkan minat dan motivasi siswa terhadap pembelajaran matematika. Sebagian besar siswa masih menganggap matematika merupakan mata pelajaran yang sulit. Di samping itu, guru masih belum dapat membangkitkan semangat dan motivasi siswa agar lebih aktif dan berminat dalam belajar.
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, seorang guru dituntut untuk memilih metode yang dapat lebih mengaktifkan siswa dalam belajar. Penggunaan metode pembelajaran yang tepat akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami dan menguasai materi pelajaran sehingga pencapaian tujuan pembelajaran dapat ditingkatkan.
Penguasaan siswa terhadap bahan pelajaran, kemampuan menerapkan materi pada situasi yang berbeda dan keterampilan siswa dalam menggunakan materi untuk memecahkan masalah yang timbul merupakan kompetensi yang sangat penting untuk dimiliki siswa. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, tidaklah cukup jika siswa hanya mengikuti pembelajaran secara pasif. Melainkan harus aktif melakukan kegiatan yang diperlukan untuk dapat memahami dan menguasai bahan yang dipelajarinya. Siswa harus memperoleh latihan cara berfikir yang diperlukan untuk mampu menerapkan teori yang telah diperoleh misalnya dengan menyelesaikan soal-soal latihan atau latihan yang menyangkut segi praktek dan sebagainya.
Menurut informasi yang diberikan oleh guru-guru di SMP Negeri 13 Mataram, ada beberapa permasalahan yang dihadapi baik oleh guru maupun siswa dalam belajar matematika. Diantaranya: 1) metode yang digunakan guru dalam menyampaikan pokok bahasan umumnya dengan metode ceramah. 2) rendahnya motivasi siswa dalam belajar dilihat dari sedikitnya siswa yang bertanya. 3) kurangnya media yang digunakan dalam belajar. Permasalahan-permasalahan tersebut akhirnya bermuara pada rendahnya presatasi belajar siswa.
Agar siswa menyenangi dan menyukai matematika maka guru perlu mengembangkan berbagai pendekatan dan metode yang bervariasi sehingga siswa akan terhindar dari rasa bosan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru hendaknya mengajar dengan menggunakan pendekatan yang dapat meningkatkan aktifitas dan kreatifitas siswa sehingga siswa itu terlatih dan termotivasi dalam belajar.
Metode belajar sambil bermain (BSB) adalah salah satu metode yang akan dikembangkan untuk meningkatkan motivasi dan prestasi siswa. Salah satu jenis permainan yang bisa dimanfaatkan adalah permainan domino yang dapat dikembangkan sebagai media pembelajaran di sekolah. Agar tidak mengganggu aktivitas pembelajaran formal di kelas, permainan ini juga bisa diberikan di luar jam kelas sebagai pembelajaran tambahan atau dikenal dengan pembelajaran suplemen.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
a) Bagaimana penerapan sistem permainan domino dalam pembelajaran matematika pada pokok bahsan bilangan bulat?
b) Apakah penerapan sistem permainan domino dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan motivasi belajar siswa pada pokok bahsan bilangan bulat?
c) Apakah penerapan sistem permainan domino dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pokok bahsan bilangan bulat?

C. BATASAN ISTILAH
Sesuai dengan judul yang penulis angkat, maka batasan istilah pada makalah ini adalah:
1. Penerapan adalah kegiatan yang mempraktikkan atau mengujicobakan suatu ide kedalam kehidupan nyata.
2. Permainan domino adalah suatu bentuk media pembelajaran yang berbasis permainan yang terdiri atas kartu-kartu domino untuk menyampaikan informasi berupa materi melalui pertanyaan-pertanyaan konsep atau subkonsep.
3. Motivasi belajar adalah sikap konsentrasi dan aktifitas siswa dalam kegiatan belajar yang dapat dilihat dari hasil pengisian angket oleh siswa.
4. Prestasi merupakan hasil dari suatu kegiatan belajar yang telah dikerjakan baik secara individu maupun secara kelompok. Sehubungan dengan ini, batasan prestasi adalah kenyataan hasil yang dapat dicapai dan diukur baik tes lisan, tertulis, maupun perbuatan yang diberikan oleh guru
5. Bilangan bulat adalah satu jenis pokok bahasan pada mata pelajaran Matematika yang terdiri dari beberapa sub pokok bahasan yaitu: penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian, perpangkatan dan akar,dan pengerjaan hitung campuran.

D. PEMBAHASAN
Permainan merupakan suatu hal yang paling disenangi oleh setiap orang mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang tua. Pada setiap permainan masing-masing memiliki cara-cara sendiri. Pada permainan tertentu, cara yang dipakai dalam permainan tersebut bisa digunakan baik dalam proses pembelajaran. Sudjana (2001:138) menyatakan bahwa permainan (games) digunakan untuk menyampaikan informasi kepada peserta didik dengan menggunakan simbol-simbol atau alat-alat komunikasi lainnya. Permainan dapat bersifat kompetitif yang ditandai dengan adanya pemain yang menang dan kalah. Permainan dapat menguji kemampuan para pemain dan dapat memperlihatkan masalah kepada para peserta didik. Peseta didik harus dapat menggambarkan dan menemukan strategi untuk memahami situasi sehingga dapat memecahkan masalah. Biasanya, suatu permainan mempunyai peraturan dan pedoman untuk memainkannya. Setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk turut serta dalam permainan dan setelah permainan selesai hendaknya diiringi dengan diskusi. Penyajian teknik permainan yang baik akan menarik perhatian peserta didik hingga menimbulkan suasana yang menyenangkan tanpa menimbulkan kelelahan. Dalam permainan sebaiknya terdapat dua kelompok kerja yaitu kelompok pemain dan kelompok pengamat.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa sesuai dengan situasi, kondisi, waktu, tempat, dan sasarannya, penggunaan teknik permainan ini diarahkan agar tujuan belajar dapat dicapai secara efisien dan efektif dalam suasana gembira dan bersaing.
Model pembelajaran yang dikemas dalam bentuk permainan mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:
· Permainan merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan.
· Permainan memungkinkan adanya partisipasi aktif dari siswa untuk belajar. Dalam kegiatan belajar menggunakan permainan, peran guru atau tutor tidak kelihatan sedangkan interaksi antar siswa menjadi lebih menonjol.
· Permainan dapat memberikan umpan balik langsung, umpan balik yang secepatnya atas apa yang kita lakukan akan memungkinkan proses belajar menjadi lebih efektif.
· Permainan bersifat luwes dan tidak kaku.
Kelemahan dan keterbatasan yang perlu dipertimbangkan, yaitu permainan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga teknik pembelajaran seperti ini sangat cocok untuk pembelajaran suplemen (tambahan) yang diadakan di luar jam formal. Tapi tidak juga menutup kemungkinan permainan ini dipakai dalam pembelajaran formal asalkan waktu permainannya dibatasi (Rokhmat, 2006).
Salah satu contoh permainan yang paling mudah dan banyak digemari masyarakat adalah permainan domino. Disamping harga kartu ini relatif murah, juga sebagian masyarakat mengenal cara permainan ini. Ada beberapa jenis permainan yang bisa dilakukan dengan memakai kartu domino ini. Namun, penulis hanya akan mencoba membahas satu jenis permainan kemudian menerapkan metode permainan tersebut pada proses pembelajaran mata pelajaran Matematika pokok bahasan bilangan bulat. Agar pembaca lebih memahami bagaimana penerapan cara bermainan domino ini, penulis akan membahas dari bagaimana bentuk kartu domino, cara bermainnya, pengadopsian kartu domino sebagai media pembelajaran, dan langkah-langkah penggunaan media.

1. Bentuk Kartu Domino
Satu set kartu domino terdiri atas 28 kartu. Setiap kartu mempunyai dua sisi dan setiap sisinya dapat berisi bulatan merah sebanyak 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, (0 berarti tidak terdapat bulatan merah). Apabila angka jumlah 0 sampai dengan 6 tersebut dipandang sebagai 7 buah karakter beda, maka dalam setiap kartu domino terdapat dua karakter dengan kombinasi tertentu. Jadi, dalam satu set kartu domino terdapat dua karakter dengan kombinasi tertentu. Sehingga dalam satu set kartu domino terdapat 28 kombinasi pasangan yang khas dari karakter 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Secara rinci, kombinasi pasangan tersebut adalah sebagai berikut:
0-0, 0-1, 0-2, 0-3, 0-4, 0-5, 0-6, = 7 kombinasi
1-1, 1-2, 1-3, 1-4, 1-5, 1-6 = 6 kombinasi
2-2, 2-3, 2-4, 2-5, 2-6 = 5 kombinasi
3-3, 3-4, 3-5, 3-6 = 4 kombinasi
4-4, 4-5, 4-6 = 3 kombinasi
5-5, 5-6, dan = 2 kombinasi
6-6 = 1 kombinasi
Jumlah = 28 kombinasi

2. Cara Permainan Domino
Kartu domino ini bisa dipakai untuk beberapa jenis permainan. Namun penulis akan membahas cara perminan yang paling mudah yakni hanya dengan mencocokkan tanda-tanda yang sama saja.
Pada permainan domino, idealnya pemain berjumlah 3 (tiga) samapai 4 (empat) orang. Setiap pemain mendapat jumlah kartu yang sama. Cara permainan ini adalah sebagai berikut.
Jika kartu habis dibagi pada pemain, maka biasanya pemain yang memiliki kartu dengan kombinasi sama(0 0, 1 1, 2 2……6 6) yang menurunkan kartunya terlebih dahulu. Biasanya yang memiliki kartu 6 6 (palang enam) atau 0 0 (palang kosong) yang diturunkan terlebih dahulu.
Pemain kedua dan seterusnya mengeluarkan kartu yang jumlah tanda pada minimal satu bagian pada kartunya berjumlah sama dengan kartu yang sudah diturunkan. Pemain yang tercepat menghabiskan kartunya ditetapkan sebagai pemenang.
Jika seorang pemain tidak memiliki kartu yang cocok dengan kartu yang diturunkan maka akan menurunkan satu kartunya sebagai utang ( kartu mati) yang jumlah tandanya akan dihitung sebagai angka mati. Misalnya pemain tersebut menurunkan kartu mati dengan kombinasi 1 3, maka pemain tersebut memiliki utang/angka mati sebanyak 4(empat).

3. Pembuatan Media dengan Meniru Bentuk dan Pola Pada Kartu Domino.
Bentuk dan pola yang dipakai pada kartu domino bisa dipakai untuk membuat alat evaluasi pada pokok bahasan bilangan bulat. Langkah-langkah pembuatannya adalah sebagai berikut.
a. Kertas tebal yang sudah dibentuk serupa dengan kartu domino, dibagi menjadi dua bagian yang sama dengan sebuah garis lurus sebagai pembatas antara kedua bagian tersebut.
b. Tentukan bilangan-bilangan yang akan dipakai dan proses penyelesaian sebuah bilangan yang dipilih sesuai dengan materi yang sudah diajarkan pada pokok bahasan bilangan bulat, diantaranya: proses penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, perpangkatan, akar dan proses hitung campuran.
c. Dalam satu bilangan yang akan ditulis, harus ada tujuh macam bentuk. Misalnya: kita ambil angka 8 (delapan), kita bisa membuat tujuh bentuk yang nantinya akan menghasilkan angka 8. misalnya: 4x2, 23 dan seterusnya.
d. Pola penentuan angka dalam setiap bagian pada kartu tersebut mengikuti banyak tanda pada tiap bagian kartu pada domino.

4. Langkah-Langkah Penggunaan Media
a. Guru menjelaskan materi kepada siswa
b. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok. Jumlah siswa dalam masing-masing kelompok antara tiga sampai empat orang.
c. Masing-masing kelompok diberikan satu set alat permainan.
d. Setiap siswa dalam setiap kelompok diberikan sebuah kertas kosong.
e. Guru membuat tabel kesalahan kemudian setiap kelompok dibagikan tabel tersebut. Siswa dalam satu kelompok saling menilai dengan mengisi tabel kesalahan. Sebagai contoh, apabila seorang siswa salah menurunkan kartu (nilainya tidak sama dengan kartu yang diturunkan sebelumnya) maka siswa yang lain akan menulis nama siswa tersebut pada tabel kesalahan dan menandai dibagian mana dia melakukan kesalahan.
f. Jika perlu guru membatasi waktu permainan
g. Permaianan dimulai dengan cara yang serupa dengan pada saat bermain domino, yakni siswa yang memiliki kartu palang kosong atau kartu yang nilai kedua bagian kartu tersebut sama.
h. Sebelum siswa yang mendapat giliran menurunkan kartu, terlebih dahulu siswa yang bersangkutan menulis/menghitung pada kertas yang sudah disediakan agar kartu yang diturunkan memiliki nilai yang sama dengan kartu yang telah terpasang. Contoh kartu yang sudah terpasang dengan tanda 2x3 dan –3+(-5) maka siswa selanjutnya harus mengeluarkan kartu yang memiliki nilai yang sama dengan salah satu bagian kartu yang sebelumnya, misalnya kartu yang bertanda angka 6 atau –2x4.
i. Siswa yang menurunkan kartu harus menyebutkan nilai dari masing-masing bagian kartu yang diturunkan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar siswa yang lain mengetahui nilai kedua bagian kartu yang telah dipasang dan mengetahui apakah kartu tersebut memiliki nilai yang sama dengan kartu yang sudah terpasang sebelumnya. Contoh kartu yang akan dipasang dengan tanda 2x3 dan –3+(-5) maka siswa yang bersangkutan harus menyebutkan nilai kedua bagian kartu tersebut yakni 6 dan -8.
j. Jika nilai yang disebutkan benar maka permainan dilanjutkan. Akan tetapi, jika siswa tersebut salah maka akan ditulis di tabel kesalahan pada bagian perkalian atau penjumlahan.
k. Apabila dalam satu kelompok ada kartu yang tidak bisa dipecahkan oleh semua siswa, maka guru akan menjelaskan dan guru sendiri yang akan menandai pada tabel kesalahan kelompok tersebut.
l. Dalam permainan ini tidak ada istilah menang atau kalah, tetapi setiap siswa akan terdeteksi pada poin mana dia tidak bisa dengan melihat tabel kesalahan yang sudah dibagikan.
m. Pada saat permainan berlangsung guru mengamati aktivitas siswa pada masing-masing kelompok.
n. Apabila waktu mencukupi, sebaiknya guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengulang kembali permainan itu supaya masing-masing siswa bisa memperoleh semua jenis kartu yang ada. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketidakadilan pada saat permainan karena tidak menutup kemungkinan seorang siswa mendapat kartu yang sulit sedangkan siswa yang lain mendapat kartu yang mudah.
o. Setelah selesai permainan, siswa dipersilahkan untuk mengumpulkan kertas masing-masing beserta tabel kesalahan yang sudah dibagikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya pada pelajaran fisika diperoleh hasil seperti tabel berikut :
Tabel Data Pre-Tes dan Post-Tes Siswa kelas III SDN 37 Mataram

Test N Nilai tertinggi Nilai terendah
Pre-test 31 6,93 12 0 4,45 1,70
Post-test 31 8,54 16 2
Adanya peningkatan skor yang signifikan yang diperoleh siswa dimungkinkan karena kartu domino sebagai media pembelajaran dengan unsur permainan dapat memberikan rangsangan pada anak-anak untuk terlibat aktif dalam kegiatan bermain sambil belajar. Semakin lama atau pada saat siswa mengulang-mengulang permainan, tanpa mereka sadari mereka telah mengulang-ngulang proses belajar dan akhirnya pengetahuan dan wawasan mereka pun bertambah.
Sedangkan dari data angket diperoleh 86,67 % siswa berpendapat bahwa kemampuan mereka dalam mengingat dan memahami materi semakin meningkat melalui pemainan domino. Data ini menunjukkan bahwa Penerapan Sistem permainan domino dalam pembelajaran dapat meningkatkan motivasi dan prestasi siswa.

E. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Penerapan sistem permainan domino dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan bilangan bulat dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
2. Penerapan sistem permainan domino dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan bilangan bulat dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
b. Saran
Diharapkan guru matematika dapat memanfaatkan sistem permainan domino sebagai media pembelajaran pada materi bilangan bulat dan meteri yang lainnya.