09.38

MASYARAKAT MADANI

MASYARAKAT MADANI; ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

“Meski ide civil society atau Masyarakat Madani adalah salah satu konsep yang cukup fantastis untuk saat ini. Tetapi rasanya harapan mulia itu dalam realitasnya masih seperti utopia saja, karena mewujudkan civil society atau masyarakat madani (MM) jelas membutuhkan cost yang luar biasa. Walau bagaimanapun konsep ideal ini haruslah menjadi agenda hari ini dan kedepan. Bukan menjadikan cita-cita ini sebagai konsep teoritik yang kental dengan suguhan-suguhan harapannya yang kering. Tetapi, tidak ada salahnya kita bercita-cita, ketimbang tidak sama sekali” @i-bru ikhtiar, 16 Juni 2007 Gesekan-gesekan dan persinggungan-persinggungan intelektual sebenarnya sudah lama dan bahkan terus berlanjut sampai hari ini, tidak hanya di mimbar akademik tetapi telah merambah, menyusup dan menyelinap dunia birokrasi, politisi, mahasiswa dan bahkan petani sampai tukang ojek pun telah terkontaminasi oleh ide dan harapan utopis ini. Hanya saja harapan mulia ini, stagnan pada aras wacana, seiring dengan multi problem yang mengguyur instrumen MM itu sendiri. Sehingga wacana MM atau CS (civil society) kian hari terasa semakin redup saja. Mengapa ini dianggap olek kaum yang memang pesimistis dengan terealisasinya MM sebagai harapan yang lebih bersifat utopis ketimbang realistis. Ini boleh jadi karena merealiasasikan ide ini akan ada cost yang luar biasa disitu. Mulai dari penyiapan infra dan suprastrukturnya, SDM-nya, law enforcementnya, kesiapan birokrasi untuk “dengan kesadaran bahwa akan ada yang dipotong dengan tiba-tiba sebagai akibat penegakan hukum atau law enforcement secara konsisten, komitmen politik dari semua partai politik untuk menjalankan fungsi dan peran mereka sebagai elemen bangsa dalam mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang dewasa dalam berpolitik. Lalu bagaimana jika ide ini akan terwujud atau lebih tepatnya akan segera diwujudkan, sebagaimana harapan kita semua. Meski dalam konteks yang lebih riel belum terlihat, tetapi pada aras ide, ini sudah mulai digaungkan oleh pemerintah terutama pasca reformasi. Pertanyaan yang paling penting untuk dikemukakan adalah, lantas kita akan memulai dari mana mewujudkan ide mulia MM atau CS ini ? Pada prinsipnya pendapat yang dikemukakan ini boleh saja dipandang sebagai analisis yang muatan obyektifnya masih dipertautkan, terutama jika dikoneksikan dengan optic scientific research. Tetapi diskursus tentang MM yang terus dilakukan diharapkan akan dapat menjadi medium perantara dalam membentangkan sutera yang kusut dari kelopaknya untuk terus dibingkai dalam rajutan permadani yang indah dan segar dipandang dalam mencari tipologi ideal bagi keberlangsungan hidup umat manusia ditengah kegalauan dan kegundahan mereka sendiri dalam menghadapi kompleksitas problem yang mereka hadapi, dan ini seakan tetap menjadi komitmen mereka para ahli-ahli yang memang secara intens menggeluti bidang ini. Meminimalkan Faktor Dependensi Belajar tanpa pemerintah, demikian Almarhum Nurcholis Madjid mengungkapkan ketika mengkritisi kinerja Pemerintah saat itu yang masih relevan digunakan saat ini sebagai bahan renungan ketika kita melihat ketidakmampuan Pemerintah membawa masyarakat kearah yang lebih baik. Tentang bagaimana kita membiasakan diri Belajar tanpa Pemerintah, sekaligus tanpa parlemen, caknur memberikan saat ia bertemu seseorang pengusaha muda sukses, yang hampir setiap bulan dipastikan pengusaha muda itu berada diluar negeri untuk mengurusi dagangannya. Konon diluar negeri dia sering ditanya bagaimana kabarnya Indonesia, sudah menjadi rahasia umum orang asing terbiasa meremehkan bahwa Indonesia adalah negara miskin dengan pemerintahan yang amburadul. Negara boleh miskin tetapi tidak penduduknya di luar Negeri saya selalu katakan. Saya nggak ada urusan pemerintah, pokoknya saya dagang kata pengusaha sukses tersebut ( Pepih Nugroho.2001.128-129). kondisi psikologis seperti yang dialami pengusaha muda inilah yang harus dikembangkan di masayarakat, artinya ada atau tidak ada pemerintah, sama saja.bahwa bangsa Indonesia sudah terbiasa menyandarkan penyelesaian masalah kepada pemerintah, itu karena cukup lama negara ini berada dalam sistem pemerintahan yang selalu sentralisasi dan Top Down, akibatnya secara tidak sadar bangsa Indonesia memiliki satu sikap kejiwaan semua menunggu dari atas padahal demokrasi tidak mensyaratkan demikian meminjam ungkapan terkenal di Amerika Serikat, bahwa Pemerintah yang baik adalah yang sedikit memerintah. Suasana psikologis semacam inilah yang seharusnya justru dipahami, dibangun dan dikembangkan bersama. ( Ibid, Pepih Hal.130 ) Belajar sekaligus melupakan pemerintah, bukan berarti mengabaikan melainkan menganggap Pemerintah sebagai Given atau sebagai barang Formal. Pemerintah dan Negara tidak lagi dianggap sebagai hasil dan kontrak sosial atau Barang publik yang berpengaruh terhadap kehidupan. Aktivitas sosial – ekonomi dengan baik mampu mengembangkan potensi ekonominya dengan baik, mampu mengembangkan potensi secara mandiri atau membangun keluarga dengan baik dan berkelanjutan tanpa harus dipengaruhi oleh kebijakan dan regulasi pemerintah, termasuk perilaku elit. Mungkin ini merupakan gagsan liberal yang fatalis, tetapi secara empirik gejala menuju post–government society benar-benar terjadi dalam masyarakat. Para petani, nelayan, pedagang kecil, buruh, calo dan yang lain bisa menjalankan aktivitas sosial ekonomi tanpa berpikir tentang negara. Banyak komunitas muslim yang membangun jaringan sosial ekonomi secara komunall dan mandiri, tidak sedikit koperasi yang tumbuh besar menjadi penyangga ekonomi rakyat tanpa difasilitas oleh negara. Mereka semua memang tidak bisa lepas dalam pelayanan administratif negara dan pemerintah (KTP,SIM, Akte Kelahiran, Paspor, IMB, Perizinan dan lain- lain) dan kewajiban membayar pajak pada Negara, tetapi secara empiriK, hidup mereka tidak tergantung pada kebijakan pemerintah dan santunan dari Negara, Namun tidak semua elemen masyarakat mampu secara mandiri melupakan negara. Kelompok-kelompok marjinal dan tereksploitasi oleh Negara maupun capital namun tidak bisa berbuat banyak jika tidak di fasilitasi oleh negara dan Pemerintah. Banyak hal yang menyebabkan tumbuhnya gejala post–government, society, Pertama; pendalaman kapitalisme dan arus globalisasi (ekonomi, informasi tekhnologi, dan budaya) yang telah mebuat hilang batas–batas Negara Bangsa (Borderless). Kedua, Kemauan dan kemampuan individu mengembangkan diri secara mandiri mampu menjalin jaringan sosial ekonomi secara politik tanpa fasilitasi oleh negara, ketiga, ketidakpercayaan public kepada pemerintah (kebijakan institusi regulasi maupun perilaku penguasa) yang membuat individu maupun kelompok masyarakat memilih Alternatif di luar negara dan pemerintah secara mandiri. Membangun Leadership dan Common Platform Fenomena di atas menjadi tantangan serius bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk membangun leadership dan common platform bersama untuk membawa negara lebih dekat ke rakyat, guna melahirkan kebijakan yang tepat sesuai kebutuhan masyarakat melalui beberapa strategi dan rekomendasi penting; Pertama, memerlukan peranan, dimana kap[asitas pemerintah dalam melakukan dan promosi aksi kolektif dalam proses pembangunan transformasi ekonomi distribusi sosial misalnya dalam konteks pemeliharaan law and order, kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar dan lain-lain sesuai tuntutan masyarakat. Kedua, perlunya membangkitkan kapasitas pemerintah lewat penguatan institusi public. Strategi ini mencakup desain peraturan yang efektif, control kinerja institusi-institusi birokrasi. Ketiga, memadukan antara kapasitas pemerintah, desentralisasi dan partisipasi masyarakat. Kapasitas negara, partisipasi masyarakat dan desentralisasi merupakan konsep untuk menghilangkan stigma “belajar tanpa pemerintah” kapasitas pemerintah dan partisipasi punya kaitan yang sangat erat yang dirumuskan dalam kerangka penguatan akuntabilitas,, responsifitas dan transparansi penyelenggaran pemerintahan melalui partisipasi organisasi sukarela maupun NGO dengan memperkuat basis partisipasi dengan cara bekerjasama. , Pemahaman bersama arti pentingnya peran Negara dalam masyarakat dan membangun modal sosial (social capital) yang tidak mengandalkan hubungan kontraktual dan aturan formal yang bekerja secara mekanis, maupun pada ikatan –ikatan primoradial yang sempit, melainkan bersandar pada nilai–nilai atau norma informal maupun ikatan civility (penghormatan pada pluralisme dan toleransi) yang menjadi panduan utama ( working rules) bagi setiap orang untuk berfikir dan bertindak–aturan informal yang dibangun oleh kesepakatan bersama itu, bisa menjamin keberlangsungan hubungan–hubungan sosial dan memungkinkan masyarakat melakukan kerjasama untuk kemajuan yang bermanfaat. Mewujudkan Masyarakat Madani; Suatu Keniscayaan Bukanlah sesuatu yang sulit, tetapi bukan pula hal yang mudah mewujudkan masyarakat yang di dalamnya ada kebebasan “yang disetujui dan disepakati public” sebagai apa yang tersirat dalam makna kebebasan yang dituntut oleh MM. Tetapi ada hal penting yang perlu kita cermati berkaitan dengan arus deras dan angin kencang modernisasi dan globalisasi. Pertama, datangnya era globalisasi telah memaksa kita untuk mau dan mampu terlibat aktif didalamnya, bukan mencaci apalagi menjauhinya. Karena kita akan tergilas oleh truk besar tekno-ekonomi (teknonomi) meminjam istilah Kenichi Ohmae dalam Borderless World. Sehingga kita dituntut untuk menyiapkan instrument yang memadai dalam menantangnya untuk siap berkompetisi secara sehat dan elegant. Era globalisasi sebagai (post modernisme) memaksa negara untuk belajar merelakan warganya untuk bebas “bukan tanpa batas dan melompati kesepakatan universal yang ada”. Sehingga kebebasan warga negara menjelma dalam bentuk dukungan penuh dari negara untuk memahami dan mewujudkan makna kebebasan yang telah diberikannya itu, yaitu rakyat yang bebas berkreatifitas, berdialektika dan bebas menggunakan dan menikmati fasilitas-fasilitas yang telah disediakan oleh negara dan bebas mengkritik negara “ketika negara melakukan sesuatu diluar koridor yang telah disepakati bersama. Kedua, globalisasi yang tidak hanya kita fahamkan sebagai manisfestasi kehendak riel informasi, ekonomi dan politik. Tetapi ada globalisme yang membawa sedetan nilai yang bisa saja kontra dan bahkan superkontradiktif dengan sistem nilai dan budaya yang kita anut, kearifan lokal, social capital atau identitas khas sebuah komunitas akan terjaring, masuk dalam perangkap bahaya globalisme yang dating tanpa permisi dan tanpa belas kasihan. Semua nilai-nilai luhur budaya bangsa akan tenggelam dan akan tergilas oleh truk besar tekno-ekonomi atau teknonomi, meminjam istilah Kenichi Ohmae, jika semua instrument budaya tidak kita siapkan dan kekuatan SDM tidak kita siapkan. Jati diri kita sebagai bangsa akan Collaps dihadapan negara lain, karena ketidaksiapan kita menantang arus besar dan badai kejam globalisasi yang tidak mengenal belas kasihan (free competition) yang kadang tidak pernah kita bayangkan dan tentu kita akan mengalami shock, jika terapi dinii dan lanjutan tidak kita lakukan dan siapkan. Olehnya, Qodry Azizy (2003) mengajukan tawaran solutif yang cukup penting untuk kita cermati dan kita lakukan yaitu kesiapan SDM (menguasaii IPTEK dan kualitas IMTAQ yang tidak diragukan lagi). Dalam konteks ini, Azizy melihat bahwa agama menjadi instrument vital dan benteng utama dalam menghadapi era baru yang selalu akan didominasi oleh cultural war. Dengan demikian bukan tidak mungkin akan terjadi tragedy delegitimasi budaya/agama pada masyarakat yang mungkin selama ini mengagungkan budaya dan agama. Dan masyarakat madani (MM) menjadi suatu kebutuhan untuk segera direalisasikan. Meski masyarakat madani identik dengan demokrasi, demikian kata Dahl dan Arend Lijphart, tetapi John Hall dalam In Search tetap memandang bahwa “democracy can be decidedly incivil” atau demokrasi dapat diambil keputusan dengan cara tidak beradab. Terwujudnya civil society baru akan terlihat jika semua kehendak, aspirasi dan kebutuhan warga negara minimal telah dapat dipenuhi oleh negara “ada kebebasan yang dihargai telah terwujud”. Karena menengok kembali definisi Masyarakat Madani (Civil Soceity) yang diajukan Salvador Giner dalam Civil Soceity and its Future yang mengatakan bahwa “ Civil Soceity is a historically evolved sphere of individual right, freedom and voluntary associations whose politically undisturbed competition which each other in the pursuit of their respectif private concern, interest, preferences and inventions is guaranted by public institution, called the state……” atau masyarakat madani adalah kondisi yang secara histories dikembangkan dari hak-hak individu, kebebasan dan perserikatan sukarela di mana kompetisi satu sama lain secara politis tidak terganggu dalam rangka memperoleh perhatian, kepentingan, pilihan dan tujuan pribadi secara berurutan telah di jamin oleh lembaga public yang disebut dengan negara……” Munculnya hubungan yang sinergis antara semua elemen dalam negara, dan negara telah mampu memberi peluang yang cukup besar bagi warganya untuk melakukan kreasi dan inovasi diri, berkembang dan pemerintah memberi wadah untuk bagaimana masyarakat bisa terberdayakan dengan baik dan pemerintah bila perlu “tidak terlalu campur tangan” dalam setiap aktivitas masyarakat dalam upaya mencerahkan diri mereka. Tetapi, peran pemerintah adalah melayani, memberi apa kebutuhan mereka. Ketika hal tersebut sudah bisa dipenuhi, maka harapan akan terwujudnya civil society atau masyarakat madani bukan tidak mungkin tidak akan terwujud. Wallahulmuaffiq illa aqwamittharieq.

0 komentar: