BERSINERGI MENUJU KEARIFAN BER-SAMAWA
“ Sabalong Samalewa, Senap Semu Nyaman Nyawe, sebuah slogan yang kerapkali kita dengar dan dijadikan sebagai konsepsi filosofis untuk menumbuhkan ghirah dalam membangun desa darat/Tana Samawa. Ironisnya, konsepsi ini masih sekedar sloganisme yang berselimut utopisme bagi harapan akan kemajuan masyarakat. Metanarasi ini haruslah didorong agar menjadi riel, sehingga apapun harapan, keinginan untuk membangun tana Samawa menjadi yang Sabalong Samalewa Senap Semu Nyaman Nyawe dibutuhkan kearifan semua pihak dengan mensinergiskan semua kekuatan yang dimiliki mulai dari pemerintah, perguruan tinggi yang ada sampai dengan petani dan nelayan untuk berjalan bersama. Samawa bukan hanya milik Bupati, Wabup, DPRD tetapi milik seluruh Tau Samawa, milik Indonesia dan sebagai warga habitat global.” (Penulis, 16 Maret 2007)Implikasi dari lahirnya otonomi daerah adalah bahwa daerah khususnya tingkat II (kab/kota) setidaknya harus mampu berada digarda terdepan dalam proses percepatan pembangunan multi sektor kehidupan masyarakat. Apakah itu lewat pemberdayaan semua potensi local yang ada seperti hasil perkebunan, pertanian, peternakan, hasil hutan, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan yang murah, SDM aparatur sampai reformasi sistem birokrasi pemerintah di daerah.
Kemampuan untuk mengelolah dengan baik segala potensi yang ada berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi dan ditopang oleh niat yang tulus dan arif dengan kesadaran bersama bahwa tanggung jawab ini adalah milik bersama. Sebuah sinergi yang kemudian akan mengapus secara perlahan-lahan naluri dan syahwat yang justru akan mendorong terhambatnya berbagai kegiatan pembangunan, karena pemerintah bukan lagi berfikir bagaimana mendapat block grant, dana hibah, investor asing atau bagaimana memikirkan bahwa APBD tahun ini sejatinya Belanja Aparatur masih perlu lebih besar dari belanja pembangunan. Tetapi pemerintah sudah mulai berfikir bagaimana meningkatkan kualitas hasil-hasil pertanian, peternakan dan perkebunan sehingga dapat bersaing di aras lokal, regional, nasional dan tidak menutup kemungkinan internasional, pemerintah mulai berfikir bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan dengan mendukung keberadaan pendidikan tinggi local melalui dukungan finansial yang diharapkan akan dapat membantu terciptanya kualitas SDM daerah, bagaimana agar jalan-jalan di semua kecamatan itu harus dikerjakan sesuai dengan aturan, prosedur/bestek yang tidak manipulatif, sehingga dana yang sudah dikeluarkan tidak menjadi sia-sia.
Semua ini mungkin baru terwujud jika semua elemen dan stake holder bekerja secara optimal dan profesional dan pemerintah diharapkan responsive, aspiratif dan partisipatif, transparan, akuntabel, punya ketegasan terhadap control sasaran, auditing yang efektif terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Perwujudan dari konsep ber-Samawa pada hakekatnya bagaimana mendorong agar Tana Samawa, Tau Samawa dapat lebih progressif dalam mengejar ketertinggalan dalam segala ranah kehidupan masyarakat dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, spesifiknya di NTB, ada secercah harapan baru yang lebih cerah di hari esok setelah kita telah melewati masa-masa yang suram. Jangan sampai hari ini akan lebih jelek dari hari esok. Sehingga progresifitas yang dibutuhkan adalah kreatifitas, inovasi dari masyarakat setelah pemerintah berhasil membuat regulasi-regulasi yang mencerminkan kreatifitas dan inovasi yang telah dibuat dan dilaksanakan melalui program-program pembangunan yang dibuat. Karena apapun alasan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka mendorong percepatan pembangunan sepanjang dilakukan dalam kerangka otoritas yang steril maka sesungguhnya itu adalah sia-sia, meski Bupati telah diganti ataupun Anggota Legislatif telah banyak yang diganti, karena titik lemah dari ketiadaan naluri “ingin maju” tetap saja muncul.
Tidak mengherankan jika kegiatan-kegiatan pembangunan tidak mampu menunjukkan peningkatan yang berarti, “kita seakan telah terjebak dalam permainan sloganistik-formalistik yang dapat menyihir ratusan ribu masyarakat” . Suatu contoh, misalnya pada kasus Sumbawa di pembahasan APBD 2007, PAD sempat mengalami penurunan dengan suatu alasan eksekutif bahwa ada pos pendongkrak PAD yang hilang, tetapi argument yang perlu disodorkan kemudian adalah apakah hanya dengan pajak bea-masuk kendaraan itu saja sumber PAD kita bergantung? Tentu akan sangat fatal menyimpulkan, ini konsekuensi dari ketiadaan inovasi dan kreatifitas dalam melihat dan melirik berbagai potensi daerah yang sebetulnya sangat potensial untuk peningkatan PAD. Yang sungguh ironis adalah ada sederet pertanyaan yang perlu dijawab, adalah apakah pajak hasil perkebunan seperti Cokelat, Madu, Kemiri, Vanili, Padi, Jagung atau hasil-hasil Ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, unggas) atau potensi susu kuda liar atau potensi sarang burung walet misalnya, kalau dikelolah secara optimal tidak bisa mendongkrak PAD, atau pernahkah pemerintah memikirkan atau berfikir bahwa dengan adanya sertifikat / lisensi organik terhadap kopi Sumbawa berarti harga dari yang semula hanya berkisar 5000-7000/kg akan melonjak sampai kisaran 25.000-30.000/kg itu bukanlah pos yang akan mendongkrak PAD ? atau Jambu Mete, Cokelat, Rumput Laut, Udang dan lain-lain tidak lebih signifikan kontribusinya bagi peningkatan PAD ?
Belum lagi yang menyangkut daerah-daerah potensial untuk tujuan wisata, ada Saliperate, Batu Gong, ada Ai Beling, Dalam Loka, Ada Sarkopagus Batu Tering, ada Sarkofaguis dan Batutulis Tepal (200 tahun B.C) dan Gua atau liang yang eksotis dengan 12 kamar, lengkap dengan kolam di dalamnya (Kaduk), dan masih banyak lagi, belum daerah yang potensial untuk agro industri, sebenarnya begitu banyak potensi lokal yang terpendam yang belum mampu kita kelolah, belum mau kita manfaatkan dengan baik dan kita lirik. Rupanya kita masih belum siap melaksanakan apa yang diinginkan sebagaimana yang tertulis di motto daerah ini, kita seakan masih larut dalam dinamika politik yang selalu berujung kekuasaan, apa yang akan diperbuat, diprogramkan, bukan lagi dilihat sebagai sebuah kewajiban dan tanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai public servicer, tetapi hampir semua agenda program kerja itu sesungguhnya di sadari atau tidak selalu dititipi muatan-muatan politis.
Mampukah pemerintah bersikap arif bahwa jalan usaha tani, pengadaan hand traktor, pemberian bea siswa untuk siswa sampai mahasiswa, perbaikan sarana transportasi kedesa-desa terisolir itu lebih penting ketimbang peningkatan penghasilan bagi Sekda dan Assisten dilingkup Setda atau ketimbang pengadaan Rumdis untuk Wabup atau pun Mobdis untuk para kadis sampai kasubdin? Ketika kebutuhan masyarakat sudah bisa dipenuhi, aspirasi masyarakat bisa dikabulkan, barangkali ini bisa ditolelir. Tetapi masalahnya sekarang adalah semua harapan itu masih diselimuti rasa harap-harap cemas. Kalau ini masih terus dilakonkan, dikhawatirkan bahwa ini akan menjadi blunder bagi legitimasi pemerintah yang ada. Ini tidak lebih sebuah prinsip yang menyangkut keinginan masyarakat untuk bisa lebih maju kedepan.
Titik kelemahan daerah dalam konteks Otonomi-Desentralisasi adalah kebutuhan yang selalu ingin direspons oleh warga habitat global lainnya. Kehadiran tambang (TNC’s dan MNC’s), keinginan berbagai investor asing untuk menanamkan modalnya, FIF, sampai Mc. Donald adalah bukti respons global terhadap daerah. Yang perlu kita ingat bersama bahwa Indonesia dan juga Sumbawa hari ini bukan lagi milik mereka sendiri, dengan tanpa berfikir banyak, kepentingan internasional sudah banyak mengintip resources-resouces yang kaya di daerah. Sehingga apapun bentuk bentuk regulasi-regulasi pusat ataupun daerah, oleh karena pengaruh utang luar negeri, investor asing, geopolitik dan keamanan trans nasional, Block Grant dan Hibah lainnya untuk pendidikan, maka negara akan sulit untuk keluar dari pengaruh tersebut atau dengan kata lain membersihkan regulasi-regulasi dari anasir-anasir kepentingan global tentu akan sangat sulit diwujudkan.
Ini sungguh dilematis (baca: spesifiknya negara), tetapi pada aras lokal ini mungkin masih bisa ditolelir, karena belum terlihat respons global itu dalam konteks yang luar biasa dalam menjustifikasi berbagai bentuk hegemoninya yang dipaksakan terhadap daerah-daerah.
Bentuk perwujudan dari sinergisitas kearifan ber-Samawa adalah ketika telah terjadi harmonisasi menyangkut hubungan antar lembaga eksekutif, antara eksekutif dengan legislatif maupun antara pemerintah dengan semua stake holder yang ada (apakah itu kampus dengan akademisi dan mahasiswanya, LSM-LSM, OKP-OKP dan juga masyarakat secara keseluruhan), dan mampu menciptakan bangun visi dan misi bahwa kebangunan masyarakat dan Tana Samawa adalah tanggung jawab semua, oleh karenanya diperlukan kearifan yang mendalam dan saling memberi ghirah, saling mendukung dan para pemimpin harus siap dikontrol oleh masyarakat sebagai bentuk perwujudan keprihatinan akan masa depan masyarakat, tanah Samawa dan juga Indonesia dalam aras yang lebih luas.
Pertama, bentuk sinergi yang dibangun adalah menyangkut reformasi dan restrukturisasi internal organisasi pemerintah serta penataan sistem administrasi pelayanan yang dilakukan dalam lingkup birokrasi itu sendiri. Dengan suatu argumen bahwa akan sangat sulit menghasilkan sebuah pemerintah yang legitimate, responsive dan accountable tanpa keinginan untuk mewujudkan ketiga prinsip itu oleh pemerintah itu sendiri, tentu akan sangat sulit mewujudkan birokrasi yang birokratis, misalnya jika antara Bupati dengan Wakil Bupati atau Sekda lain maunya, lain agendanya, tidak mampu sevisi, semisi sebagaimana bangun visi-misi yang digulirkan ketika kampanye. Ini fenomena dalam dinamika birokrasi yang top manajemennya dipegang oleh orang-orang yang datang dari latar politik atau diusung oleh kekuatan-kekuatan politik. Sehingga tidak heran kalau jarang ada agenda dari program-program pembangunan yang steril dari political interest, ini fakta riel dalam kasus daerah-daerah hampir di seluruh Indonesia. Gejala-gejala koncoisme, kronisme sampai parteisme bukan barang baru yang menjadi ajang debat para wakil-wakil rakyat yang terhormat dilembaga legislative. Rupanya eksekutif pun begitu respek dan mampu membaca gejala ini untuk kemudian memancing di air keruh, moment penyusunan APBD, Proyek-proyek Fisik, sampai pembahasan APBD adalah lahan garapan empuk yang ingin dimanfaatkan oleh elit-elit birokrasi dan juga individu yang selalu melanglang buana mencari mangsa untuk ingin berkontribusi.
Kalau ditelaah lebih jauh ini bukanlah scenario komunal untuk mempertahankan otoritas dan image secara komunal “an sich” , tetapi ini sudah masuk pada domain pendelegitimasian terhadap otoritas individu dan akan merembet kearah parteisme, koncoisme dan komunalisme antar top management yang ada. Dan saya kira ini tidak sehat dalam membangun sinergi untuk merombak sistem dari kebekuan sementara membaca gerak kenyataan global yang begitu cepat merembes kedaerah. Steger (2002), melihat ekses dari keterkaitan global ini akan ikut menghempas kredibilitas pemerintah daerah, sehingga untuk mengantisipasinya daerah harus mampu membaca gejala “increasing global interconnectedness” yang semakin menuju ke daerah.
Aspek terpenting dari perlunya mensinergiskan potensi-potensi internal birokrasi adalah karena dalam posisi sebagai warga habitat global, maka tidak mungkin bahwa budaya-budaya dan perilaku birokrasi tidak akan dipengaruhi oleh faktor prestise, jabatan, kekuasaan dan uang sehingga birokrasi sebagai public servicer akan mengalami degresi pada ranah kepercayaan yang ingin dibangunnya. Perebutan pengaruh, kekuasaan dan uang demi posisi terhormat dan prestise sudah bukan barang baru dalam dinamika birokrasi local.
Kedua, menyangkut hubungan antara pemerintah dengan stake holder lain semacam elemen-elemen kritis lain yang ada di aras local. Salah satu elemen yang sampai hari ini masih dianggap cukup independent adalah kehadiran lembaga-lembaga pendidikan tinggi di mana ada akademisi dan juga student movement bernaung di situ, kehadiran mahasiswa maupun akademisi dengan kontrol-kontrol kritis yang kerap dilakukannya bisa menjadi motif munculnya hubungan yang tidak sinergis antara pemerintah dengan mereka. Sikap kritis dan kadangkala dianggap sebagai “over kritis” yang dilakonkan oleh mahasiswa sering direspons secara keliru oleh penguasa sebagai sesuatu yang dekonstruktif dan menjadi penghambat pembangunan dan dari hasil reduksi lebih jauh yang dimunculkan adalah bahwa “ini bila perlu tidak usah direspons” dan mereka tetap menjadi aman dari kritik meski banyak penyimpangan yang dilakukan. Pemerintah telah meletakkan hubungan ini dalam bingkai interdependensi akut sebagai akibat dari adanya legitimasi otoritas yang dilekatkan kepadanya, eksesnya satu diantara dua pihak harus ada yang tersisihkan (baca: elemen kritis), terjadinya pengurangan dana bantuan untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi adalah salah satu ekses dari ketidakharmonisan ini. Dan ini berbahaya bagi keinginan untuk melahirkan generasi muda bangsa yang berkualitas dan berperadaban, free market of ideas hanya akan menjadi fatamorgana, padahal salah satu syarat untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah pembebasan diri individu dari belenggu otoritas penguasa dalam hal kebebasan berwacana, berdialektika dan berkreasi ide yang didukung oleh sistem yang ada dalam negara tersebut.
Sorotan dan kritikan yang digulirkan jangan sampai dilihat sebagai upaya untuk mendelegitimasi kredibilitas pemerintah, melainkan harus direspons secara arif dan bijaksana, pada prinsipnya itu bukanlah blunder, tetapi ini adalah dalam kerangka kritik-otokritik yang tentu sangat berguna bagi peningkatan kualitas kinerja yang akan dilakonkan oleh negara/pemerintah. Alasan lain yang dapat dikemukakan dalam konteks ini adalah menyangkut kegundahan dan kegelisahan yang kian melanda benak-benak elemen control setelah mereka letih bergayuh dan bergulat dengan gelombang panjang dan pendek dalam menginginkan harapan-harapan ideal bisa terwujud sebagaimana harapan-harapan yang digulirkan oleh teori-teori ideal yang telah dilahapnya sendiri, landasan filosofis serta paradigma pembangunan maupun regulasi-regulasi yang cukup bagus di atas kertas, tetapi cukup rapuh di dalam praktek sesungguhnya, menjadi salah satu alasan munculnya kegundahan dan kegelisahan tersebut. Hanya saja, barangkali mungkin kesalahan ini tentu tidak bisa sepenuhnya ditimpahkan ke “pemerintah saja”, karena ia bukanlah subyek yang memiliki sifat “maha”, memiliki otoritas sacral yang haram di sentuh kritik dan tidak luput dari kelemahan. Saya kira yang terpenting untuk di catat bahwa meski untuk mendorong masyarakat menjadi maju, rakyat menjadi sejahtera dibutuhkan sikap ta’awun dan semua elemen harus bergerak bersama, rakyat harus diberi ruang untuk beraspirasi dan berpartisipasi, pemerintah harus siap dengan sikap transparansi, akuntabilitas serta mampu menjaga kredibilitasnya, tetapi di sisi lain kita juga harus memberi dukungan terhadap berbagai program yang telah dijalankan pemerintah demi civil society, demi masyarakat yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Kalau hubungan ini dapat dijaga, maka bukan mustahil akan terjadi hubungan yang saling menguntungkan, saling memberi kontribusi bagi peningkatan pembangunan di daerah, khususnya dibidang pendidikan. Lembaga pendidikan tinggi telah tampil sebagai pengekspor SDM yang rutin ke daerah, sebagai motivator dan inspirator bagi tumbuhnya ghirah dalam membangun dan melayani rakyat dan solutor bagi permasalahan pembangunan yang kerapkali dihadapkan kepada pemerintah daerah dan sebagai mitra kerja pemerintah dalam mendorong percepatan pembangunan yang lebih progressif di daerah, terjadinya simbiosis-mutualis antara keduanya, pemerintah tidak perlu kalap, dan akan senantiasa mendapat input-input segar tentang arah serta konsep pembangunan spesifiknya di daerah. Apakah pemerintah daerah tidak berani untuk mengeluarkan kocek hanya tidak kurang dari 1-2 Miliar saja dari APBD untuk membebaskan siswa atau mahasiswa dari biaya pendidikan, dan saya kira itu bukanlah nominal siginifikan yang akan memberatkan ketimbang jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk pos-pos yang belum tentu kontributif dan terkesan membebani daerah, atau pernahkah kita berfikir untuk bagaimana meningkatkan penghasilan para Guru, Kepala Desa sampai RT yang justru menjadi inspirator dan penggerak pembangunan di daerah ?
Kalau semua problem survival ini bisa dijawab, maka harapan yang kita cita-citakan, yang diinginkan, Samawa yang Sabalong Samalewa Senap Semu Nyaman Nyawe yang katanya “ Menjadikan Samawa yang Mampis Rungan” tidak mustahil tidak akan terwujud jika pemerintah merangkul semua elemen dalam satu shaf yang padu untuk bersinergi dengan landasan nilai kearifan menuju cita-cita dan harapan yang lebih baik di masa-masa yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar