09.46

GERAKAN MAHASISWA

Gerakan Mahasiswa di Era Neoliberal
Oleh : Amrullah


“ Bukanlah pengecut orang yang tiarap menghindarkan peluru mendesing; namun bodohlah orang yang menantang peluru hanya untuk jatuh dan tidak kuasa untuk bangkit kembali” (Jose Rizal, Sastrawan Philipina dalam Jangan Sentuh Aku)

Mahasiswa atau tepatnya Gerakan Mahasiswa telah menjadi ikon bagi perubahan social di berbagai belahan dunia, spesifiknya Indonesia. Tetapi benarkah bahwa mahasiswa dalam kapasitasnya sebagai agent of change dan agent of social control hari ini telah gagal mentranspormasikan cita-cita masyarakat ideal? sebagaimana yang diinginkan oleh tumpukan teori-teori filsafat, social ideal yang berserakan di rak-rak hikmat modern yang telah dilahapnya sendiri untuk kemudian ditranspormasikan dalam konteks yang lebih riel dilapangan. Sehingga mahasiswa tidak hanya diinginkan sebatas “agent” dalam konteks formalistis belaka, melainkan mahasiswa harus mampu menjadi “the subject matter” bagi masyarakat, sekecil apapun itu.
Perlawanan melawan tiranisme yang secara ideologis, struktur dan kultur kuat harus bisa diimbangi dengan kekuatan serupa. Mahasiswa sebagai “the subject matter” harus mampu melawan dengan kekuatan yang seimbang dalam mendorong suatu tatanan yang lebih baik dan terarah dan mahasiswa harus mampu mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi negara yang otoritarian-birokratik. Tetapi dalam aras Indonesia pasca orde baru sebagai rezim yang otoritarian-birokratik, tentu keadaan sudah jauh berubah, sehingga pola dan arah gerak mahasiswa pun perlu ditinjau ulang. Dengan demikian, satu pertanyaan yang muncul, perlukah paradigma lama GM itu dipertahankan ataukah kita harus lepas menuju sesuatu yang baru dalam suasana yang baru pula. Sikon negara-bangsa ini telah berubah dan kita tidak lagi harus vis-à-vis negara secara frontal, tetapi harus berjalan seirama dalam bingkai dependensi-independensi-interdependensi. Tetapi di sana ada konspirasi global yang semakin mengancam tatanan nilai luhur nation-state, dan kita seakan terpaksa untuk hanyut dalam gelombang yang tidak tentu arah apakah kita akan maju ataukah kemudian kita semakin mundur. Sebuah pertanyaan yang memang membutuhkan jawaban yang belum pasti. Dengan demikian, akan terjadi simbiosis-mutualis antara negara dengan masyarakat dalam mendorong suatu perubahan yang menyeluruh dalam segala aspek kehidupan.
Era neo-liberal ditandai dengan semakin lengkap dan kuatnya struktur ekonomi-politik negara-negara pusat “core” dan negara-negara pinggiran (pheriphery) maupun semi pinggiran (semi pheriphery) akan semakin sulit mengejar ketertinggalan itu. Negara pusat seperti negara-negara G-8 akan terus memainkan peranan penting dalam mempengaruhi regulasi-regulasi internasional. Pada kenyataannya globalisasi adalah rekayasa ide negara-negara tersebut yang digunakan sebagai penopang dalam meloloskan berbagai agenda mereka. Teknologi informasi adalah senjata ampuh dalam mempermainkan sistem ekonomi terutama disektor keuangan dan industri. Bayangkan saja para pemegang saham/modal raksasa bisa dengan seenaknya memindahkan modalnya dari suatu negara ke negara lain dan tanpa melalui prosedur-prosedur yang rumit hanya dengan memencet mouse computer. Hal ini tentu menjadi momok mengerikan bagi negara-negara miskin dan berkembang dalam menghadapi model transakasi ekonomi valas semacam itu.
Belum lagi dalam hal sistem moneter dan pengetahuan, di mana negara-negara kapitalis yang menguasai, menjadikan posisi kita makin serba dilematis, bagai simalakama. Kalau kita mau jujur, saat ini Indonesia terkunci dalam gerak kenyataan global. Barangkali melihat gerak global hanya akan membuang energi karena tidaklah bersentuhan langsung dengan kehidupan pribadi individu-individu dalam praktek kesehariannya. Karena tidak terhimpit dengan kenyataaan local yang justru saat ini kita hadapi. Padahal ini penting didiskursuskan mengingat Indonesia dan juga Sumbawa kita seakan semakin terhimpit dan didesak untuk meniscayakan agar apapun regulasi internasional harus diwujudkan, meskipun itu bukan kehendak negara, bukan pula kehendak masyarakat ataupun mahasiswa. Tetapi kehadiran puluhan TNC’s dan MNC’s di Indonesia telah merubah struktur dan kultur dari aras nasional hingga daerah pedesaan sekalipun. Mulai dari cara makan kita, berpakaian kita,life style, tradisi hingga ranah politik, ekonomi dan birokrasi.
Kapitalis-neolib telah mampu merombak genuisitas struktur dan kultur dalam masyarakat sedikit demi sedikit untuk menjadi “seperti mereka” yang identik dengan individualis, materialis dan konsumtif. Kekuatan raksasa disektor financial yang ditopang kemampuan politik mereka sehingga berbagai bentuk regulasi internasional pun dibuat bukan semata-mata untuk mewujudkan agenda penyelamatan dunia yang berkeadilan dan demokratis, malah sebaliknya.
Kemudian yang terpenting juga disorot adalah menyangkut aspek pengetahuan, kita telah terjebak dalam iklim dan pengetahuan yang lebih bernuansa dan beraroma liberalis, sehingga aroma inipun juga merasuk sampai pada ranah aktualisasinya dilapangan, jangan heran kalau kemudian dibayang-bayangi oleh berbagai konsepsi ideal yang dihasilkan oleh elaborasi pemikiran-pemikiran liberalis sampai pada tingkat pengambilan kebijakan. Ini tidak lain adalah selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic yang harus didekonstruksi karena telah membawa degresi bagi suatu peradaban yang memiliki entitas khas dari umat manusia. Karena didalamnya ada ketidakadilan, ketidaksetaraan dan ketidakberperikemanusiaan lewat pragmentasi epistemology yang mereka lakukan.
Sederet problem di atas, meniscayakan mahasiswa harus lebih proaktif dalam membaca arah gerak perubahan global yang hampir tidak mau dibaca oleh masyarakat. Sehingga berbagai bentuk problem bangsa yang dihasilkan dari konsekuensi implementasi kebijakan negara yang lebih cenderung beraroma neolib, dapat dikatakan adalah bagian dari kenyataan bahwa Indonesia dan juga Sumbawa adalah bagian dari warga habitat global yang harus direspon dan mendapat perhatian mahasiswa sebagai agen control pembangunan.
Sehingga kehadiran gerakan mahasiswa dalam era neo-liberal adalah mahasiswa yang tidak lagi harus berkayuh dengan gelombang pendek, tidak lagi terbuai dalam perdebatan teoritik “di bangku kuliah” saja habis itu kita kembali kehabitat, mahasiswa yang selalu berusaha untuk melakukan resistensi dengan state secara vis a vis dan juga frontal, melainkan mahasiswa harus lebih bersifat kritis-transormatif, kritis-konstruktif dan kritis tetapi juga obyektif dengan tetap menjaga prinsip independensi-dependensi-interdependensi baik itu dengan negara maupun organ lain diluar itu. Gerakan mahasiswa di era neoliberal ini tidak hanya memperlihatkan dirinya dalam bentuk mengeritik negara ketika negara berlaku diskriminatif terhadap warganya, tetapi yang perlu diingat kehadiran free trade, lembaga-lembaga donor internasional (IMF, WB) serta puluhan TNC’s/MNC’s telah berhasil memangkas sebagian peran penting negara dalam hal penguasaan atas kepemilikan umum karena alasan regulasi, privatisasi, debirokratisasi dan sebagainya. Pada konteks ini hendaknya Gerakan Mahasiswa harus lebih obyektif dalam melihat persoalan “seirama dengan negara” agar negara dapat ditekan untuk tidak larut terlalu jauh dalam permainan tersebut. Sehingga gerakan mahasiswa tetap menampilkan identitas khasnya sebagai gerakan yang idealis, moralis meski era neoliberal ini makin progressif menerobos segmen-segmen sensitiv Gerakan Mahasiswa itu sendiri.
Untuk menjaga agar Gerakan Mahasiswa tetap selalu tampil sebagai gerakan yang ditakuti sekaligus disegani, maka GM harus lebih jeli membaca moment, jangan sampai kegundahan dan kegelisahan diartikulasikan dengan gegabah tanpa pembacaan kritis atas kondisi yang sejatinya dihadapkan kepadanya. Konteks mensyaratkan GM harus bergerak dan teks adalah penuntun bagi keberlangsungan bergerak dinamis dalam konteks, jangan sampai gerakan mahasiswa hanya menjadi pelipur lara dalam kegundahan yang tak mampu memberikan obat penawar bagi penyakit sistem yang ada, hanya karena keteledoran mereka sendiri. GM hari ini tidak harus vis a vis secara frontal sehingga ia terkubur untuk selama-lamanya, melainkan perlu reformulasi dan reparadigmatisasi gerakan dalam melawan dua musuh besar sekaligus yaitu “Negara dan sistem yang tidak berpihak dengan tirani global”

0 komentar: