09.43

IDEALISME MAHASISWA

PERCIKAN IDEALISME DALAM GERAKAN MAHASISWA



“ Kenapa begitu bangga setelah benteng kokoh berselimut malapetaka itu roboh, tetapi hanya untuk kembali bercanda ria dalam benteng yang sama? Tidak! tidak salah “mahasiswa” sebagai agen control social atau apapun sebutan prestisius lainnya. Meski mereka berada dalam bara panas sekalipun ia tetaplah air bening dan sejuk yang akan menyiram bara-bara menyala. Percikan-percikan idealisme telah membawa mahasiswa sebagai ikon perubahan social di masyarakat. Alhasil, metamorfosis eksistensi diri gerakan mahasiswa hari ini dan mungkin besok percikan-percikan idealis itu telah diklaim oleh factor pragmatisme yang tengah melanglang buana mencari setiap sisi dan sudut yang “lemah’ dari sentrum gerakan mahasiswa”.

Heroisme perlawanan dengan spirit yang menyala, energi dahsyat seperti pembelahan inti fusi, telah menghancurkan, merobohkan dan menyapu tumpukan-tumpukan kebijakan dan sistem yang despotis, korup dan zalim. Menggandeng idiom-idiom populis seperti “ HAM, civil society, anti militerisme, demokrasi dan lain-lain, mahasiswa dengan berjalan bersama rakyat, kemudian membuktikan dirinya sebagai garda terdepan dalam mendorong masyarakat yang humanis dan demokratis mahasiswa telah menjadi ikon baru oleh masyarakat bagi sebuah proses perubahan terpenting.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap babakan baru sejarah republik ini (baca:pergantian kepemimpinan), kehadiran mahasiswa dengan gerakan-gerakan lewat isu-isu populisnya diakui atau tidak telah menghantarkan nation-state ini keluar dari kemelut tersebut. Kemampuan, kemauan dan keinginan untuk membaca medan gerak dan arah perubahan yang terjadi tidak lepas dari munculnya percikan-percikan idealisme dalam diri dan jiwa muda mahasiswa itu sendiri. Percikan idealisme ini disemburkan dari hasil kreatifitas berdialektika dengan ide dan juga lingkungan yang ada dan kemudian mengejewantahkan dirinya dan melebur dalam bentuk aksi sosial-moral yang dilakoni oleh mahasiswa.
Berangkat dari pembacaan atas historiografi sejarah pergerakan nasional dengan mahasiswa sebagai lokomotifnya, sebetulnya tidak bisa lepas dari pengaruh kemampuan mengolah dan mengelolah percikan-percikan idealisme menjadi sebuah nyala besar yang membakar semangat perjuangan. Sebagai sebuah proses yang berangkat dari hasil pembacaan, dialektika dan pergulatan-pergulatan baik dengan diri individu dan kelompok ataupun lingkungan, tentu saja percikan-percikan ini tidaklah berada dalam garis linear, apakah ia tetap besar atau berkurang untuk kurun waktu yang sudah ditentukan. Melainkan ia relative, ada moment yang membuat ia menggelembung, mengempis dan menyusut. Tetapi adalah suatu hal yang naïf kalau sampai percikan idealis ini dibiarkan konstan hanya pada tahap mengempis, kembang-kempis melulu. Karena eksesnya adalah menjadikan gerakan mahasiswa menjadi kurang populis, lalu digantikan oleh elemen lain yang independensinya masih dipertautkan. Sementara kenyataannya, sampai hari inipun gerakan mahasiswa masih menempati garda terdepan bagi perjuangan menuju civil society, law enforcement, HAM, Demokrasi dan lainnya.
Dalam optic masyarakat, mahasiswa tetap masih disegani dengan gerakan-gerakan moral yang didengungkannya, meskipun disisi lain arah kecendrungan kredibilitas gerakan dengan idiom yang diboncengnya sedikit agak kabur, karena pengaruh kekuatan-kekuatan politik “dominant” dan juga negara yang ikut terlibat dalam upaya melakukan penggeseran peran mahasiswa itu sendiri. Membuat terobosan-terobosan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa tetap saja diasumsikan dan mungkin juga tetap terbonceng interest lain dibelakangnya.
Di aras lain, stigma negative yang muncul belakangan ini adalah bahwa mahasiswa hanya tahu teriak dijalan, demo dan memprotes dan cenderung bermain anarkis ketika aspirasinya gagal dipenuhi oleh penguasa (pemerintah). Tetapi gagal mentransformasikan ide-ide dan memberikan sebuah rumusan konseptual dan solusi terhadap berbagai problematika transisi yang kini dihadapkan pada bangsa-negara (baca : Indonesia). Stigma anarkis yang sering dilakonkan oleh mahasiswa-mahasiswa garis keras, seakan menambah penilaian miring masyarakat akan kegagalan itu.
Mahasiswa hari ini yang oleh sebagian kalangan telah gamang dalam meracik antara idealisme yang dijunjung tinggi dengan materialis-pragmatis yang perlu ditaruh ditempat yang sebenar-benarnya. Menjadikan mahasiswa seolah kembali gagal membesarkan percikan idealis untuk menghasilkan kerja-kerja moral yang berangkat dari gerakan moral yang tidak hanya menyentuh ranah psikologi, emosional dan romantisme belaka, melainkan moral yang menjadi élan gerakan. Sehingga makna moral tidaklah sempit melainkan harus termaknai sebagai suatu sistem nilai yang berlaku universal bagi individu bukan komunitas atau gerakan dan menjadi alat mekanisme control atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, ketika gerakan moral telah menjadi élan gerakan maka gerakan itu akan memperlihatkan outputnya dan senantiasa akan memberi effect bagi munculnya gerakan moral serupa dalam aras negara-bangsa yang nota bene menjadi obyek atau tujuan pressure yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa itu sendiri.
Karena berbicara gerakan moral dalam perspektif mahasiswa maupun pemerintah bisa saja bermuka ganda, sama-sama mengklaim diri sebagai pembawa gerakan moral, baik itu gerakan mahasiswa maupun state sebagai konsekuensi dari ajaran trias politika “Montesquieu”. Di satu sisi, gerakan mahasiswa mengklaim dirinya sebagai elemen penting yang menyuarakan aspirasi rakyat dengan menggunakan idiom sebagai yang telah disebutkan di atas dan kemudian menjadi alat untuk melegitimasi eksistensi gerakan mahasiswa dalam melakukan persinggungan dengan negara. Sementara disisi lain, ada negara sebagai bentuk dari trias politica juga menggunakan legitimasi moral dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Dan untuk memperlihatkan kemampuan mengartikulasikan dan mampu memberi positif effect bagi masyarakat, maka mahasiswa lewat gerakan-gerakan yang dibangunnya harus lebih melihat moral movement sebagai moral force juga dengan kemampuannya menjadikan moral sebagai élan vital gerakan dengan konsistensi pada aras independensinya. Inilah yang akan membedakan dua muka “moral movement” yang dimainkan baik oleh negara maupun mahasiswa.
Inilah sebetulnya bentuk aktualisasi dilapangan hasil dari elaborasi ide-ide cemerlang yang mendambakan masyarakat yang berkeadilan, berkesetaraan, humanis, toleran dan demokratis, terwujudnya law enforcement dan lain-lain, ini adalah konsep ideal yang telah terpercik dan melembaga dalam naluri berfikir gerakan mahasiswa yang kemudian disebut “percikan idealis” dalam makna bahwa mahasiswa identik dengan idealismenya yang tinggi.
Kembali kekonteks gerak sejarah perjuangan kaum muda “mahasiswa” dalam membonceng percikan-percikan idealis yang melumuri dirinya, tetaplah tidak bisa ditaruh dalam bingkai homogenitas, karena tidak semua mahasiswa itu berfikir demikian, ada yang idealis, apatis, konsumtif, hedonis dan bahkan materialis. Ini adalah bumbu dalam gerakan mahasiswa yang menampilkan nuansa genitnya gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang beraroma, punya nilai, karakteristik dan aroma khas dibandingkan dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan pro demokrasi ataupun gerakan-gerakan lainnya. Dengan kata lain bahwa percikan-percikan idealis itu bisa mengembang, mengempis dan bisa juga terjadi muncul kedua-duanya (hal yang sama) pada moment yang sama pula.
Pertama, pada awal-awal kebangkitan nasional dan pergerakan nasional antara 1908-1949 bisa disebut sebagai fase awal perkembangan percikan idealisme dalam tubuh gerakan pemuda-mahasiswa, indicator terpenting dari fase ini bisa dilihat dari semangat untuk merdeka dan berjuang dalam melawan otoritas hegemonik tirani Belanda dan Jepang, terbangunnya naluri kebangsaan yang kemudian melahirkan organisasi-organisasi mahasiswa-pemuda (ada Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes dan lain-lain), dan pada fase ini juga muncul ormas-ormas Islam (NU, Muhammadiyah, Persis), PNI, Parindra, Parkindo maupun organ kemahasiswaan yang dikemudian hari akan mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada fase ini pula lahir sederet peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah bagi negara-bangsa Indonesia. Percikan awal keberhasilan pemuda-mahasiswa dari proses ini adalah Sumpah Pemuda (1928), kemudian pada decade inilah titik kulminasi munculnya tower bagi perjuangan menuju idealisme pemuda-mahasiswa untuk mewujudkan sebuah cita-cita luhur, mulia dan besar. Artikulasi idealisme bagi faham kebangsaan dan ke-Indonesiaan mereka yang dengan gagah berani dan cerdik mencuri moment sehingga melahirkan proklamasi 1945.
Kedua, ini bisa disebut sebagai fase kebekuan idealisme/diskriminasi idealisme yang dipaksakan terhadap kelahiran mahasiswa dengan gerakan-gerakannya. Ini dapat dilacak dari detik-detik menjelang berakhirnya rezim orde lama 1965-1966, kemudian berlanjut kembali ke rezim orde baru selama kurang lebih 32 tahun. Hal yang perlu digarisbawahi bahwa, meskipun mahasiswa bersama-sama dengan ABRI bergandeng tangan dalam meruntuhkan orde lama pimpinan Soekarno, tetapi pada akhirnya gerakan mahasiswa tetap dianggap sebagai gerakan kritis yang dapat membahayakan rezim. Makanya tak heran kalau kemudian gerakan mahasiswa dicurigai, dibuntuti dan akhirnya mengalami depolitisasi. Keadaan ini baru berangsur-angsur pulih ketika gendang reformasi bergema 1998 dan rezim otoriter “orba” jatuh sebagai imbas dari perlakuannya sendiri dan juga permainan imperialisme global yang mulai menunjukkan taringnya dengan berusaha bermain cantik ditengah-tengah kegundahan melanda negara-bangsa (Indonesia).
Ketiga, fase ini bisa disebut masa transisi setelah mahasiswa mengalami keletihan bergayuh dengan gelombang demokratisasi, civil society serta berbagai isu lain yang semakin gencar disuarakan. Seiring dengan naiknya tokoh-tokoh pendukung demokrasi kepuncak kekuasaan. Gerakan mahasiswa kembali diterjang badai ujian yang cukup berat, ketika mereka harus berhadapan antar sesama gerakan mahasiswa menjelang turunnya presiden Gus Dur 2001, percikan idealisme pun semakin berserakan, tidak tentu arah dan tentu saja tak karuan (terkristalisasi). Gerakan mahasiswa pecah, dan kelompok-kelompok kepentingan pun berlomba-lomba mencuri hati GM untuk dijadikan teman sejawat dalam rangka menelurkan berbagai agenda yang mereka usung.
Dari pembacaan sekilas, tampak bahwa sesungguhnya percikan itu relative bukan konstan, Sehingga berbagai agenda urgen gerakan tidak bisa terealisasi. Ini bukan hanya karena factor “negara” yang tidak serta merta meloloskan apa yang mereka inginkan dan atau juga “mahasiswa” yang secara internal telah gagal dalam membaca Indonesia tanpa mempertimbangkan dan menghitung alur gerak internasional. “Mahasiswa telah terhanyut dalam membaca gerak dunia dalam perdebataan teoretik yang kental, dan terhisap dalam perdebatan itu sendiri, sehingga problem survival bangsa tak kunjung diantisipasi” (Hasanuddin Wahid, dkk, 2005). Atau bahasa lain adalah bahwa mahasiswa akan semakin gagal dalam menemukenali identitas idealisme mereka dalam memperjuangkan tujuan-tujuan ideal mereka, tatkala mereka tidak mampu membaca arah gerak kemauan sistem (negara) dan juga perubahan global sebagai akibat globalisasi dan penerapan doktrin neoliberalime yang dipaksakan ke seluruh dunia.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa dalam konteks kekiniannya memiliki dua versus sekaligus yaitu negara yang otoriter, korup, tidak berpihak kepada rakyat, yang diskriminatif dan juga imperialisme global. Dalam optic negara “jangan sampai kehadiran mahasiswa dengan gerakan sebagai musuh yang harus dibabat” melainkan sebagai opisisi yang loyal selama negara berlaku adil dan berwatak konstruktif. Tetapi karena desakan global yang mau tidak mau membuat negara juga tak berdaya, maka negara juga bersama semua stake holder bangsa harus sevisi dan semisi dalam melihat Indonesia kedepan.

0 komentar: