09.48

PERJUANGAN RASULULLAH

REFLEKSI HISTORIS PERJUANGAN RASULULLAH


“Sungguh tak terperihkan bagai disayat pisau secara perlahan-lahan, hati Ilham yang tengah berjihad dalam ilmu yang melihat duka, air mata, rintihan dan jeritan hati yang tak terkira dari mata dan mulut hamba-hamba Allah, saudara-saudara se-addin di Libanon, Palestina, Irak, Afganistan, Aljazair dan di negeriku sendiri “katanya”. Kehadiran sang kekasih dambaan hati “Maryam” yang dengan penuh kesabaran menanti bahtera cinta berlabuh lewat penantian penuh asa, meski rasa was-wasnya tak tertahankan, tetapi iman telah mengalahkan seteru dan telah mengokohkan rasa cintanya pada Allah dan Islam, melebihi cintanya pada sang kekasih dambaan hati. Syahdan telah terdengar pembicaraan serius antara dua sejoli di kamp pengungsi Qana’a. “Mar”? sambil Ilham mengatur dan menyiapkan kotak-kotak yang berisi makanan, buah kismis, dan pakaian yang akan segera dibagikan ke Tepi Barat dan juga distrik lain sekitar Qana’a yang sedang berduka. “ apakah cinta yang telah bersemi selama ini kan tumbuh dengan subur agar dapat kita arungi bahtera cinta lewat deru-deru ombak disetiap saat singgah di hatiku, sementara setiap saat pula malaikatul maut dengan setia menghampiriku di medan jihad ini”. Dengan penuh ketegaran Maryam menjawab “mengapa tidak, kalau kecintaanmu terhadap Allah dan Islam senantiasa mewarnai cintamu padaku dan aku telah merelakan dikau dalam jihad, pergilah! Semoga Allah bersama perjuanganmu” (@i Bru, Ikhtiar, 31 Maret 2007)

Illustrasi singkat kemenangan pasukan jihad di medan perang Badar Kubro sebagai perang pertama dalam sejarah Islam. Setidaknya fakta sejarah ini telah ikut mengusik fikiran tenang kita, apakah logika exacta juga akan berlaku ‘bahwa tidak mungkin ada bom nuklir tanpa ada uranium atau plutonium sebagai materi pembuat setelah mengalami proses pengayaan tingkat tinggi (yang diperkaya)? Sekilas menjadi tampak bahwa kerja berat jelas membutuhkan energi yang luar biasa. Tetapi apakah logika tersebut juga akan berlaku pada keadaan yang didalamnya Allah lebih banyak melakukan intervensi misalnya, “apakah materi tanpa substansi juga mampu memberikan energi”. Secara ilmiah tentu akan sangat sulit menerima kehadiran kekuatan transenden dalam exprimen-exprimen mereka, akan tetapi sekali lagi intervensi sang khalik akan menepis sebagian asumsi-asumsi tersebut.
Ataupun illustrasi kehadiran karakter yang dilakonkan sosok Ilham di atas, terasa sungguh amat jarang bisa kita temui ditengah geliat budaya glamour yang telah melanda umat. Pamor glamouritas sedikit demi sedikit menggerogoti nadi-nadi sensitive keimanan kita yang selalu dikelilingi oleh kenikmatan, kesenangan dunia yang tiada tara. Kesenangan yang selalu dibungkus oleh selubung syahwat yang munafik dan hegemonik, setidaknya telah meruntuhkan harapan banyak generasi yang dipundaknya terpikul beban yang amat berat. Tetapi dengan kenikmatan yang telah Allah turunkan, setidaknya Addinul Islam masih menjadi tirai pengahalang bagi burung-burung hantu yang mensenandungkan nyanyian malapetaka bagi umat untuk tetap punya batas dan tidak bisa bersenandung dengan semena-mena dan sekendaknya syahwatnya.
Tidak terasa kita akan masih dalam suasana memperingati maulid nabi besar Muhammad SAW, seorang rasul, seorang pemimpin Agama dan Negara, sang Reformer terbesar hingga dewasa ini yang telah melahirkan sebuah peradaban yang agung yaitu “Islam”, kemudian hari kemerdekaan (Proklamasi 17 Agustus 2007) yang ke-62 dan sebentar lagi kita akan memasuki Bulan Suci Ramadhan 1429 H. Sebagai umat Islam, momentum maulid, Proklamasi maupun Ramadhan ini hendaknya kita mampu menjadi wahana refleksi tentang bagaimana Nabi Saw berjuang menegakkan panji-panji Islam, memberantas sistem yang bobrok dan rusak, bagaimana beliau menjadikan generasi muda untuk selalu berada digarda terdepan untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang maju, demokratis dan berperadaban, lewat sentuhan-sentuhan lembut dan menukik kalbu “dakwah Islamiyah” dan bahkan dengan kekuatan fisik pun beliau telah berjuang demi kemajuan dakwah Islam. Kemudian dengan momentum Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 hendaknya mampu kita jadikan sebagai momentum bagaimana para pejuang dan para pemimpin bangsa berjuang sampai dengan titik darah penghabisan untuk hanya ingin merebut dan memperjuangkan kata “Merdeka”, atau bagaimana kemudian dengan bulan suci Ramadhan 1429 H ini, mampu kita jaidkan sebagai wahana refleksi diri bagimana umat Islam berjuang melawan kafir quraisy dan menegakkan panji-panji Islam.
Kekuatan iman telah mampu ditunjukkan oleh pasukan kaum muslimin pada waktu perang badar kubro. Menurut sejarah, inilah perang yang pertama dalam sejarah Islam dan dilakukan dalam situasi yang penuh dengan ujian yang maha berat yaitu di bulan suci Ramadhan. Sebuah bentuk pertarungan yang sungguh sangat berat. Di satu sisi ada kekuatan Islam yang diamunisi oleh iman dan cinta, sementara di sisi lain ada kekuatan yang lain yang dimotori oelh syahwat , kekuasaan dan kezaliman. Secara kuantitas, kaum kafir pantas menang, tetapi ini bukanlah ukuran yang di pakai oleh Rasulullah Saw, bukan itu yang ditakutii dan diperhitungkan dalam memenangkan jihad ini. Tetapi yang ditakutkan Rasulullah adalah ketika ada diantara kaum muslimin yang lemah imannya dan tidak bisa mempertahankan rasa cinta mereka terhadap Allah dan Addinul Islam. Dan kemudian akan menurunkan semangat juang mereka lalu akhirya akan menderita kekalahan.
Hampir saja iman goyah, rasa takut muncul, belum lagi lapar dan dahaga yang mendera ketika kaum muslimin yang berjumlah lebih kurang 300 orang mendengar gemuruh pasukan yang bersenjatakan lengkap (kafir quraisy) yang jumlahnya 3000 orang. Sungguh suatu kekuatan yang tidak seimbang. Tetapi Rasulullah Saw dengan penuh kesabaran dan keyakinan senantiasa memberi spirit “iman” kepada pasukannya. Bahwa persoalan kuantitas bukanlah syarat bagi suatu kemenangan, bukanlah panas terik dan hawa menyengat padang pasir menjadi tirai penghalang menuju kepada keridhaan Allah dan yang membuat fisik-fisik mereka menjadi lemah. Cintanya pada Allah dan Islam telah menyemburkan aura iman meski ditengah kilatan pedang musuh, dan…..iman telah membawa kemenangan atas panji-panji Islam di medan Badar Takluk.
Rupanya ada semburan energi lain yag ikut menambah kekuatan fisik mereka dalam mengalahkan musuh Allah, ganasnya padang pasir bukanlah menjadikan landasan menyurutkan niat mereka menuju tegaknya panji-panji dakwah Islam dan bukan karena alasan kuantitas yang tidak seimbang menjadii ukuran akan kekalahan mereka. Tetapi ukuran kualitas iman dan rasa cinta yang menjadi penentunya. Semburan energi cinta dan iman telah mengalir deras yang kemudian ikut dibakar oleh api jihad lewat panasnya matahari padang pasir. kemenangan bagi iman dan cinta mereka adalah yang utama dan kemenangan terhadap musuh adalah yang pertama. Dan wajar kalau telah tersembur pancaran kekuatan Islam sebagai rahmatal lil alamin lewat intervensi sang kholiq (Allah Swt), yang pada akhirnya membawa kemenangan “Badar takluk”.
Konsekuensi refleksi atas tinta emas sejarah islam masa lalu seakan terus mengalir lewat nadi-nadi generasi kemudian yang berusaha terus menjadikan momentum hari-hari besar Islam ini sebagai momentum yang tepat menggalang kembali talii ukhwah yang putus, ikatan ukhwah yang renggang, menyeruhkan ‘adalah, tasamuh antara sesama umat manusia. Sebagai bentuk manifestasi itu adalah munculnya serangkaian aktivitas ibadah serta berbagai aktifitas-aktfitas sosial lainnya yang dilakukan ummat Islam di seluruh dunia. Bahkan sampai hari ini masih banyak saudara-saudara kita yang tetap berada dalam dua jihad sekaligus baik itu terhadap hawa nafsu maupun jihad syuhada (perang melawan kaum kuffar yahudi dan nasrani) dalam mempertahankan tanah air maupun keyakinan mereka. Konsep “hubbul al wathan min al iman” haruslah menjadi spirit perjuangan serta keyakinan mereka akan intervensi Allah disetiap derap langkah mereka dalam jihad selalu akan menjadi amunisi yang tidak akan pernah habis.


Mensyukuri Nikmat Allah

Bagi umat Islam Indonesia sepatutnya kita lebih banyak bersyukur kepada Allah, meskipun begitu banyak badai ujian dan cobaan yang datang silih berganti tiba dan datang menyapa, tetapi kita masih diberi nikmat ketenangan dan kedamaian dalam menjalankan berbagai aktivitas ibadah. Bila kita bandingkan dengan keadaan yang kini menimpa saudara-saudara kita se-addin yang rela menjalankan berbagai aktivitas di tengah peperangan, ancaman-ancaman aggressor yang despotis (baca: AS terhadap Iran dan negara-negara Arab yang lainnya tak terkecuali negara berkembang ). Mereka yang berada nun jauh di sana dengan penuh harap menginginkan suasana seperti ini. Umat Islam Palestina, Irak, Lebanon dan Afganistan, masih terus berjaga-jaga dan siap siaga dari ancaman peluru-peluru kendali dan roket-roket kaum despotis, korup dan zalim yang setiap saat bisa saja menghilangkan nyawa mereka. Darah-darah syuhada pun seakan mengalir sepanjang waktu karena mempertahankan ad-dinnya, tanah air serta kehormatannya. Sungguh menyedihkan memang kondisi yang telah kita alami saat-saat ini. Rupanya keserakahan, kesombongan, keangkuhan dan rasa menipisnya iman dalam hati telah membawa petaka bagi sesama umat manusia, perbedaan ideologi, suku, agama, ras dan prinsip telah menceburkan manusia dalam new dark age.
Keinginan untuk menikmati hidup damai seakan tak lagi difikirkan yang terpenting kekuasaan, pengaruh dan uang, karena dorongan syahwat yang begitu menggelora dalam diri mereka. Ironis memang, melihat fakta-fakta yang ada, jangankan antar berbeda keyakinan, sesama muslim pun kita seringkali dihadapkan pada berbagai bentuk friksi-friksi baik internal maupun eksternal. Tak heran kalau tali ikatan ukhwuah menjadi renggang, persatuan menjadi lemah, dakwah semakin susah ditemukan spiritnya. Padahal Allah Swt, secara tegas telah menyatakan bahwa betapa pentingnya menjalin dan menjaga persatuan dan kesatuan serta persaudaraan yang kokoh, kekuatan diorganisir dan dihimpun kembali untuk menuju kepada kemenangan dakwah Islam.
Sahabat Rasulullah Saw, Sayyidina Ali KA pernah berfatwa mengenai urgensi persatuan umat dengan kata-kata “Kebaikan yang terorganisir akan senantiasa kalah dengan kejahatan yang terorganisir” senafas dengan berbagai problematika yang kini dihadapkan pada umat Islam, mengisyaratkan bahwa peran serta generasi muda, generasi dakwah menjadi suatu keniscayaan. Karena di jiwa-jiwa mudalah tersembur kekuatan fisik, mental dan Insya Allah (spiritual) yang senantiasa akan memandu estafet perjuangan di masa-masa mendatang.
Apapun yang dikatakan tentang pemuda, maka sesungguhnya dipundak merekalah terpikul beban, terdapat solusi-solusi bagi nasib bangsa, masyarakat dan umat. Islam memposisikan pemuda ditempat yang sangat strategis yaitu penentu nasib bangsa lewat akhlakul kariemah yang dimilikinya. Ibnu Rusyd, intelektual Islam yang sangat fenomenal pada masanya pernah berkata, bahwa ‘nasib suatu bangsa terletak ditangan generasi muda, apabila akhlak generasi muda rusak (hancur), maka hancurlah bangsa itu dan apabila akhlak generasi muda baik maka baiklah bangsa tersebut”.
Ukhwuah berfungsi mengokohkan kepingan-kepingan kekuatan yang terserak, tali hubungan haruslah sinkron antara habluminallah dengan hablumminannaas, karena penganaktirian terhadap dua konsep tersebut, maka sesungguhnya azab dan bencana sudah ada didepan mata. Telah begitu banyak fakta, bukanlah janji yang dibikin manusia yang kapan saja bisa diingkari. Ini adalah janji Allah Swt sebagaimana diterangkan Allah Swt dalam salah satu ayat Al-Qur’an “Duribat alaihimutsillatu ainama tsuqifu illa bihablimminallah wa hablumminannaas” yang artinya :” akan ditimpakan azab dimanapun mereka berada, kecuali apabila mereka berpegang pada tali agama Allah dan tali hubungan sesama manusianya” .
Di sinilah generasi muda memainkan peran strategis dalam melepaskan diri dari belenggu keterisolasian, kejumudan dan rantai hegemonik dan “free market of ideas” benar-benar akan terjadi dalam ruang publik. Sehingga peran strategis kaum muda Islam akan semakin diperhitungkan ketika mereka yang telah mampu dan terus melawan dan menggugat segala hal yang kontradiktif dengan spirit Islam baik dalam konteks politik, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan sebagai penyangga peradaban. Karena tidak ada sesuatupun subyek yang luput dari pengamatan Islam, sepanjang itu berhubungan dengan nasib umat secara universal.

0 komentar: