Berhembuskah Angin Perubahan Ke Batulanteh; Telaah atas Kondisi Pra dan Pasca PILKADES 2007
“Masyarakat Pedalaman bukanlah komunitas yang sama sekali buta dalam hal politik kekuasaan, meski itu hanya bermain di ranah desa. Kalau di telaah lebih jauh, frekuensinya lebih dahsyat bahkan hampir-hampir menyaingi suhu politik Pilkada atau mungkin Pilgub. Strategi, model, dan bentuk permainan yang dilakukan pun tidak juga kalah dengan permainan politik yang dilakonkan oleh masyarakat kota atau yang identik dengan itu. Hanya saja sangat disayangkan, model perebutan pengaruh dan kekuasaan ala masyarakat pedalaman sebagai akibat dari hilangnya tradisi local “besiru, musyakarah” telah ikut mengikis secara perlahan-lahan kearifan lokal, tradisi luhur dan meski ini sangatlah tentatif, tetapi setidaknya gara-gara “politik dukung mendukung antar calon Kades yang bertarung” hampir-hampir saja mereka renggang, tidak saling menyapa dan selalu saling mencurigai, mengintip dan tentu saja saling memojokkan. Ironis memang, tetapi itulah style politik ala komunitas pedalaman”. Pesta demokrasi desa sudah mulai digelar di seluruh Kabupaten Sumbawa. Boleh jadi Pilkades yang merupakan saat yang paling tepat untuk memperlihatkan kebolehan bermain politik, rakyat menaruh harapan mereka akan lahir pemimpin-pemimpin yang amanah di desa serta momentum Pilkades adalah wadah untuk mencerminkan reprentasi naluri politik bagi siapapun yang ingin menjadi top manajemen di tingkat desa atau menjadi “Kepala Desa”. Tetapi mungkinkah angin perubahan itu berhembus menyelinap, menelusuri perlahan-lahan diantara dedaunan yang rindang dan akan hadirkah angin semilir itu bertiup menembus tirai-tirai penghalang kemajuan itu? Semua itu diharapkan akan terjawab ketika suksesi kepemimpinan di tingkat desa itu telah berlangsung secara luber jurdil dan penuh dengan nuansa kearifan local yang ada selama ini. Fatsoen Politik Yang Hilang Budaya Politik Dekonstruktif Pembicaraan ini secara spesifik akan meneropong tentang dinamika politik yang selalu menyelimuti salah satu komunitas masyarakat di Kabupaten Sumbawa yaitu Kecamatan Batulanteh. Kecamatan Batulanteh yang terdiri dari enam desa dan masih tergolong terbelakang di Kabupaten Sumbawa, terutama momentum-momentum politik yang sangat penting bagi mereka. Momentum Pilkades adalah yang teranyar dalam perspektif mereka, setidaknya bila dibandingkan dengan Pilkada, Pilpres atau Pemilu dalam skopa yang lebih luas. Sebenarnya munculnya budaya politik yang tidak lazim untuk dilakonkan karena “mungkin dianggap bahwa komunitas pedalaman adalah buta dengan realitas politik terutama politik kekuasaan”, bukanlah hal yang baru dalam dinamika masyarakat di dalam Pegunungan Batulanteh ini. Faktor sosio-geografis bukan menjadi jaminan bahwa rakyat tidak faham politik, tidak faham kekuasaan, malahan saking fahamnya “telah membawa kecelakaan bagi mereka sendiri” munculnya friksi-friksi internal “sangat memalukan, karena internal kelompok sendiri”. Kalau dulu mungkin masih terlihat ikatan kekerabatan yang begitu kuat tercermin di setiap denyut nadi anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Kemudian renggang ikatan sosial dalam satu desa tertentu dapat saja disebabkan oleh pengaruh faktor politik kekuasaan di ranah desa. Lahirnya budaya politik “balas dendam” semacam itu telah menanggalkan berbagai agenda masyarakat “Desa” sebagai agenda Pemerintah yang justru mendesak. Alhasil, tidak ada sesuatu subyek yang lebih parah dan sakit dalam multi segmen kehidupan, selain Batulanteh. Terkungkung dalam kemunduran, terjerat oleh belenggu apatisme dan konsolidasi perubahan yang tidak pernah muncul. Lebih masygul lagi, meski era reform sudah berjalan selama 9 tahun, tetapi budaya-budaya apatisme-tradisional tetap saja tidak berubah. Melihat dinamika dan fenomena politik “saling menjatuhkan” antar pendukung menjelang Pilkades ini ternyata menjadi menarik dan menggelitik untuk dicermati. Pertama, setidaknya ini tidak lebih fenomena politik yang boleh terbilang baru dan tersembur kepermukaan setelah mereka terkungkung selama lebih kurang 32 tahun dibawah rezim otoriter. Sehingga mereka seringkali mengartikulasikan makna perebutan kekuasaan menjadi sedemikian beraroma. Bahkan sering terdengar pembicaraan-pembicaraan antar para pendukung calon kades tentang arah kebijakan, strategi politik yang akan digunakan sampai dengan posisi dan reposisi untuk mengisi jabatan-jabatan strategis diranah desa ketika mereka resmi terpilih kelak. Tetapi hampir semua pembicaraan yang berkaitan dengan itu tidak terlihat arah yang menyentuh bagaimana program pembangunan yang akan dilakukan terhadap desanya ketika mereka terpilih nantinya. Artinya, keinginan untuk maju menjadi “kades” tidak semata-mata dimotivasi oleh adanya keinginan untuk bagaimana membawa masyarakat akan lebih maju dari keadaannya sekarang, bagaimana mengaktifkan kembali identitas kearifan local yang ada dan telah menjadi ikon masyarakat di sini. Setidaknya fenomena ini telah berlangsung di beberapa desa di Batulanteh yang ada terutama menjelang Pilkades ini. Ironis memang, sebagian anggota masyarakat telah keliru memaknai makna politik menjadi begitu kabur dan jelek. Bahkan ada yang mengatakan kalau bulan ini (baca: April) ini sebagai bulan politik dan sebagai bulan saling menghujat. Ini konsekeunsi dari tidak adanya pendidikan politik yang baik, sehingga pemaknaan seolah-olah politik dianggap sebagai sesuatu yang menyesatkan, saling memfitnah, saling adu kekuatan uang untuk memenangkan suatu pertarungan politik. Alhasil dalam perspektif mereka, bahwa seorang calon Kepala Desa tidak mungkin akan mampu memenangkan pertarungan politik tanpa ada kejelian membangun opini masyarakat (terlepas dari baik atau tidak), tanpa ada uang yang cukup untuk kampanye, tanpa ada tim sukses yang mampu menarik simpati para anggota masyarakat baik dengan cara yang paling baik sampai dengan cara yang terjelek “saling memojokkan, menjelekkan dan bahkan memfitnah”. Konsekuensi logis dari permainan politik seperti ini ketika mereka telah berhasil adalah bahwa budaya politik saling mengebiri, balas dendam dan munculnya friksi baru dalam masyarakat menjadi tidak bisa di tawar-tawar lagi. Padahal dalam suatu desa, hampir tidak ditemukan adanya “rentang genealogis”, karena mereka telah bersama, berbaur dalam sebuah ikatan homogenitas dan struktur sosial homogen yang cukup lama. Sehingga sangat di sayangkan apabila kondisi-kondisi seperti ini tetap dipertahankan. Kepalah desa sebagai pembawa perubahan di dalam masyarakat paling bawah menjadi suatu tantanan khidupan bernegara yang sekurangnya kondisi yang demikian harus dilaksanakan mnjadi tanggung jawab moral kepada masyarakat karna selama ini kepala desa haus dengan jabatan dan papularitas sekaligus tempat menjilat rakyat yang sudah terpuruk dari segala Aspek kehidupan kita mengetahui secara nyata dengan kepala mata sendiri yang terjadi dalam polmik kehidupan yang sesungguhnya. seperti masyarakat yang berpendidikan yang tidak mudah terpengaruh dengan bujuk rayuan seorang penguasa saat ini yang ada di level yang paling bawah. Dalam mencari pemimpin yang akur terhadap segala persoalan yang menyangkut kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
0 komentar:
Posting Komentar