oleh Abdul Malik
Ujian akhir bagi siswa sekolah dari tahun ke tahun sampai saat ini masih menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Mulai dari penetapan mata pelajaran yang diujikan, nilai standar kelulusan sampai risiko yang harus ditanggung siswa tidak lulus. Apabila menengok kembali sejarah ujian akhir siswa sekolah di Indonesia akan terlihat bahwa pola baku sistem ujian akhir untuk siswa seringkali berubah seiring dengan pergantian pejabat. Hampir setiap ganti pejabat, kebijakan sistem juga ikut berganti rupa.
Pada periode 1950-1960-an, ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon. Kemudian, periode 1965-1971, semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Waktu ujian juga ditentukan oleh pemerintah pusat.
Periode 1972-1979, pemerintah memberi kebebasan setiap sekolah atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan proses penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum. Sedangkan Periode 1980-2001, mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk: Ebtanas untuk mata pelajaran pokok, sedangkan EBTA untuk mata pelajaran non-Ebtanas. Ebtanas dikoordinasi pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor. Dalam Ebtanas siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam Ebtanas adalah enam, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah tiga.
Pada 2002-2004, Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Kelulusan dalam UAN 2002 ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Dalam UAN 2003 siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-ratanya minimal 6. Soal Ujian Akhir Nasional dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak bisa mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak lulus UAN masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulangan UAN selang satu minggu sesudahnya. Jika dalam ujian ulangan UAN siswa tetap memiliki nilai kurang dari angka tiga, maka dengan terpaksa mereka dinyatakan tidak lulus atau hanya dinyatakan tamat sekolah.
Dalam UAN 2004 kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4,01. Syarat nilai rata-rata minimal tidak diberlakukan lagi. Angka nilai minimal 4,01 ini terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju yang mempunyai batas minimal nilai enam. Depdiknas juga mengeluarkan keputusan ditiadakannya ujian ulang UAN bagi siswa yang tidak mencapai batas minimal kelulusan. Artinya, bagi siswa yang gagal meraih angka lebih dari 4,01 maka siswa yang bersangkutan harus mengulang tahun depan atau dinyatakan tidak lulus. Namun, setelah mendapat masukan dari beberapa lapisan masyarakat, keputusan tidak ada UAN ulang tersebut dibatalkan. Walaupun terjadi peningkatan ketidaklulusan namun angka-nya tidak signifikan. Pada UAN 2004 ini terdapat kontroversi tentang Konversi Nilai UAN yang dianggap merugikan siswa-siswa yang pandai dan lebih menguntungkan siswa yang kurang pandai.
Pada tahun ajaran 2005, Depdiknas kembali menaikkan standar kelulusan dari 4,01 menjadi 4,26 dan merubah nama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi Ujian Nasional (UN). Pada UN 2005, sesuai janji Mendiknas yaitu tidak ada lagi konversi nilai seperti tahun sebelumnya. Berkaitan dengan hasil Ujian Nasional tersebut, Depdiknas memberikan kesempatan kepada siswa yang belum lulus Ujian Nasional tahap pertama, mengikuti Ujian Nasional tahap kedua hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus. Selain itu, Depdiknas mengeluarkan edaran kepada perguruan tinggi dan SMA/MA/SMK bahwa mereka dapat melakukan penerimaan bersyarat bagi siswa yang belum lulus UN.
Artinya bagi siswa yang tidak lulus UN, tetap bisa mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Jika ternyata lulus seleksi masuk di perguruan tinggi, maka haknya bisa dipenuhi apabila telah lulus pada Ujian Nasional tahap kedua. Sampai sekarang, tahun 2006 dan 2007 UN tetap dilaksanakan dengan standar kelulusan 4,26. dalam arti siswa yang nilainya dibawah 4,26 untuk tiga mata pelajaran yang diujikan jelas tidak lulus.
Pembicaraan mengenai UN dan standar kelulusan secara nasional kini memang menjadi salah satu tema menarik dan penting untuk diperhatikan. Karena salah satu problem pendidkan yang dihadapi bangsa indonesia adalah terkait mutu lulusan yang dihasilkan. Kepedulian ini nampak terlihat dalam UU Sisdiknas no.20 tahun 2003 yang menyebutkab bahwa standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembelajaran yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan dan seterusnya (UU,2003 : 32).
Tetapi sejak berlakunya UAN terutama tahun 2004 sampai sekarang banyak sekali protes dari siswa, guru, orang tua bahkan pengamat pendidikan yang menolak pelaksanaaan UAN. Karena sejak berlaku sistem standar lulusan banyak siswa yang tidak lulus bahkan ada sekolah yang 100% gagal total. Hal ini menyebabkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi seperti terjadi di salah satu daerah, guru yang ujian mengerjakan soal semenatra siswa menunggu jawaban. Hal ini mereka lakukan agar siswanya bisa lulus karena merasa standar pelulusan terlalu tinggi.
Pada tahun 2006 jumlah angka siswa yang tidak lulus UAN mencapai angka 100 ribu di seluruh Indonesia. Di Jakarta, terdapat 14 sekolah yang persentase kelulusannya hanya 0%. Dan yang lebih parah lagi, ada 1 orang siswa di Sulawesi yang bunuh diri karena dirinya tidak lulus UAN. Di Jakarta sendiri, terdapat 4 orang siswa yang juga melakukan percobaan bunuh diri. Di samping para orang tua siswa yang tidak lulus UAN itu beramai-ramai mengunjungi Komnas HAM. Mereka menyatakan bahwa UAN telah melanggar HAM, dengan argumen bahwa sistem ini masih bersifat trial and error dan memunculkan ketidakadilan (detikcom 29 Juni 2006).
Secara obyektif, harus diakui bahwa perbaikan terhadap mutu pendidikan yang salah satunya adalah kualitas lulusan merupakan salah satu masalah yang sepatutnya segera mendapatkan jawaban. Lantas bagaimana dengan fenomena pelulusan siswa sekolah menengah selama ini? Bukankah rata-rata 6,0 merupakan standar minimal sebuah proses pembelajaran dikatakan berhasil sebagaimana diatur dalam GBPP? Dan tidakkah nilai 3,01; 4,01 atau 4,26 adalah sebuah nilai yang terlalu rendah untuk interval [0,...,10]?
Memang, sejak berlakunya UAN dengan nilai standar kelulusan menjadi dilema khususnya bagi siswa, orang tua dan sekolah. Banyaknya siswa yang tidak lulus menyebabkan banyak yang tidak setuju dengan UAN karena dianggap merugikan siswa dan pelajaran yang paling mereka khwatirkan adalah matematika. sementara itu pemerintah bersikeras untuk tetap melaksanakan UAN.
Dengan semakin tingginya standar nilai kelulusan bagi siswa, otomatis siswa sekarang dituntut untuk belajar semakin keras karena persaingan untuk mendapatkan kursi di sekolah/universitas jelas semakin ketat. Kalau diamati, banyak anak sekolah sekarang SD, SMP dan SMA yang menghabiskan waktunya untuk belajar, mulai dini hari sampai larut malam.
Di sekolah pukul 07.00 sudah mulai pelajaran sampai pukul 13.30, belum lagi kalau ada jam tambahan. Pulang sekolah masih dilanjutkan dengan les berbagai mata pelajaran baik di tempat-tempat bimbingan belajar atau memanggil guru les privat. Tak jarang beban mereka lebih berat dari orang tuanya yang bekerja. Lalu bagaimana dengan siswa-siswa yang berada di wilayah pelosok daerah di mana fasilitas pendidikan sangat terbatas serta bangunan sekolah yang hampir roboh?
Mereka ini juga mendapat beban yang sama dengan siswa yang ada di kota berupa syarat nilai kelulusan yang sama pula. Apabila saat mengikuti ujian akhir ternyata mereka tidak lulus ujian, rasanya masa belajar siswa selama tiga tahun menjadi percuma. Apalagi mata pelajaran yang diujikan hanya tiga mata pelajaran (matematika, Bahasa Inggris dan bahasa indonesia) dan hanya berlangsung dua sampai tiga hari saja. Padahal menurut penjelasan Pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).
Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 45 tahun 2006 tentang Ujian Nasional tahun Pelajaran 2006/2007 menyatakan bahwa Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tetapi pada kenyataannya pelaksanaan UAN tidak tidak mencakup semua aspek di atas. Bukankan ini berarti bahwa UN melanggar UU?
Saya melihat bahwa penyelenggaraan UN tidak relevan dengan program pemerintah yang memberlakukan kurikulum nasional 2006 (KTSP) yang memberikan hak kepada sekolah untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, juga tidak relevan kurikulum sebelumnya (MBS dan KBK). Di dalam UN proses penghakiman melalui ujian yang hanya enam jam, penilaiannya menggunakan tes tertulis dengan bentuk pilihan ganda dan lebih banyak mengukur matra pengetahuan. Akan tetapi dalam kurikulum KBK ataupun KTSP semua catatan hasil kemajuan belajar dapat dirangkum dan dikuantitatifkan untuk dijadikan dasar penentuan sertifikasi bagi siswa yang menamatkan pendidikannya. Aspek yang dinilai bukan hanya pengetahuan (kognitif) tetapi mencakup ketiga ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Apakah kewajiban belajar yang selama ini mereka (siswa) kerjakan, hanya pantas diakui dengan sistem ujian akhir yang sedemikian rupa dan tidak adakah sistem ujian yang jauh lebih baik demi menyandang predikat lulus?. Bukankah tujuan utama pemerintah dalam UN selama ini adalah untuk memetakan mutu pendidikan?. Termasuk di dalamnya pemetaan terhadap daya serap siswa terhadap mata pelajaran yang diujikan. Tetapi mengapa hanya tiga mata pelajaraan yang diujikan, bukankah yang mereka pelajari tidak hanya tiga mata pelajaran?. Disamping itu, siswa memiliki kemampuan dan bakat yang berbeda. Ada yang senang dan berprestasi pada mata pelajaran matematika, ada yang senang dan berprestasi pada pelajaran kimia, Fisika, biologi dan lain-lain. Bagaimana mungkin pemerintah bisa mengetahui daya serap siswa terhadap semua mata pelajaran bahkan sampai belasan mata pelajaran yang mereka pelajari selama tiga tahun jika hanya tiga pelajaran yang diujikan.
Memang, angka 3,01 ataupun 4,26 adalah angka yang sangat rendah karena ini berarti untuk menguji sumber daya manusia atau dalam hal ini kemampuan belajar siswa selama tiga tahun kurang dari 50%. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah sebagaian besar fasilitas belajar siswa di Indonesia yang konon katanya ”kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah” masih kurang memadai. Jangankan Laboratorium komputer atau laboratorium masing-masing mata pelajaran, masih banyak sekolah yang gedung sekolahnya tidak layak pakai. Belum lagi kualitas pengajar yang hanya sekadar menunaikan tugas. Untuk itu, seharusnya pemerintah lebih mendahulukan mengembangkan pembelajaran di sekolah misalnya dengan pemngadaan dan pengembangan fasilitas belajar disamping peningkatan kualitas pengajar juga tidak dilupakan.
Apa benar UAN untuk meningkatkan kualitas? Seharusnya kualitas pendidikan tak hanya dilihat dari faktor anak didik, tapi juga guru. Kalau guru tak diperbaiki percuma saja ada UAN. Kelulusan tidak bisa hanya didasarkan atas hasil UN. Kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilihat hanya dari hasil UN. Tapi harus dari hasil pendidikan secara komprehensif.
Di samping itu juga pelaksanaan UN bertentangan dengan Pasal 64 ayat 1 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa yang berhak menguji siswa adalah pendidik yang dalam hal ini guru di sekolah yang bersangkutan. Sementara itu UN dilaksanakan oleh pemerintah. Ini berarti bahwa pelaksanaan UN tersebut bertentangan dengan UU Sisdiknas. Ujian bagi siswa memang sangat perlu untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajarinya selama tiga tahun tetapi yang seharusnya melaksanakannya adalah guru atau sekolah bersangkutan karena guru lebih tahu kemampuan siswanya selama tiga tahun. Penentuan kelulusan peserta didik didasarkan atas UU Sisdiknas, yakni merupakan komulatif nilai ujian akhir, ujian semester, ulangan-ulangan harian, tugas-tugas, dan budi pekerti.
Ujian yang maksimal hanya tiga kali 2 jam tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya. Ada kemungkinan siswa yang notabenenya pintar dan memahami semua materi yang diajarkan tetapi karena ketika ujian dia sakit atau sedang ada masalah dia tidak akan konsentrasi dalam menjawab soal yang menyebabkan nilainya kurang dari standar yang ditetapkan. Bahkan sampai saat ini Depdiknas tidak pernah mengumumkan rencana program peningkatan mutu pembelajaran pada sekolah, daerah, dan wilayah yang dianggap gagal dalam mata pelajaran tertentu (misalnya matematika, bahasa inggris dan IPA).
Dari sekelumit uraian di atas kami mengharapkan agar UN ditiadakan pada tahun depan dan seterusnya. Evaluasi terhadap kemajuan belajar siswa sebaiknya diserahkan ke pihak sekolah dan guru. Semoga harapan ini menjadi kenyataan.
Bila memang pemerintah mau membantu meningkatkan mutu pendidikan, kiranya yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemerintah hendaknya memfasilitasi kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah-sekolah yang kurang bermutu. Di samping itu, demi keadilan seharusnya pemerintah menjalankan UU sisdiknas tahun 2003 dengan memberikan wewenang kepada guru dan sekolah untuk mengevaluasi kemajuan belajar siswa, dalam hal ini kami berharap pemerintah tidak lagi menyelenggarakan UN (Ujian Nasional) karena UN tidak sejalan dengan UU sisdiknas dan KTSP.
08.17
Label: OPINI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar